REDD+ Sebagai Alternatif Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia - LITERASI GEOGRAFI

Latest

Website ini membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan geografi, baik fisik, non fisik, dan sosial, serta yang bersangkutan dengan pendidikan geografi.

Sunday, April 15, 2018

REDD+ Sebagai Alternatif Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
     Indonesia memiliki 86-93 juta ha tutupan hutan (hampir 50% dari luas lahan); hanya Brazil dan Republik Demokratik Kongo yang memiliki hutan tropis lebih luas. Hutan di Indonesia merupakan salah satu dari ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di muka bumi. Hutan tersebut merupakan habitat bagi 17% burung, 16% reptil dan amfibi, 12% mamalia, dan 10% tumbuhan di dunia. Lebih kurang separuh lahan gambut tropis di dunia berada di Indonesia seluas lebih kurang 21 juta hektar. Ini setara dengan sekitar 83% luas lahan gambut di Asia Tenggara (FAO, 2006).
  Meskipun perhitungan berbeda-beda, tingkat deforestasi di Indonesia diperkirakan sekitar 1,8 juta ha per tahun, atau sekitar 2% dari luas seluruh tutupan hutan. Antara tahun 1990 dan 2005, Indonesia kehilangan sekitar 28 juta ha hutan atau 24% dari luas seluruh tutupan hutan (FAO, 2006). Emisi karbon dioksida tahunan Indonesia diperkirakan sedikitnya lebih dari 3 milyar ton, yang 85% di antaranya berasal dari kehutanan dan perubahan penggunaan lahan (PEACE, 2007). Penggerak deforestasi di Indonesia pada umumnya mencakup perluasan lahan pertanian dan bio-energi, pembalakan, dan pembangunan infrastruktur. Menurut Buckland (2005), perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama fragmentasi hutan dan hilangnya habitat hutan.
  Degradasi dan deforestasi dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) sebagai salah satu penyebab terjadinya global warming. CO2 merupakan gas yang dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis dan seperti gas rumah kaca lainnya, gas ini berguna untuk mempertahankan suhu bumi di malam hari dengan menahan sebagian pancaran balik cahaya matahari. Namun, konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya meningkat drastis setelah adanya industrialisasi dan sejak manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil, yang melepaskan banyak karbon ke atmosfer. Semakin banyak pancaran balik cahaya matahari yang terperangkap telah menyebabkan temperatur bumi naik dengan rata-rata sekitar 0,4 derajat Celcius sejak 1970-an (www.redd-indonesia.org). 
   Deforestasi dan degradasi hutan ini juga telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia yang berkontribusi secara nyata terhadap perubahan iklim. Di level global, sekitar 17% emisi gas rumah kaca berasal dari kegiatan penebangan hutan. Kerusakan hutan Indonesia merupakan suatu permasalahan yang besar, bahkan sudah mencapai ambang mengkhawatirkan. Dalam laporan Greenpeace disebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia merupakan kerusakan hutan tertinggi di dunia. 
  Fenomena dampak kerusakan lingkungan hidup ini mendorong komunitas internasional untuk mencari penyebabnya dan untuk mengantisipasi akibatnya. Isu ini menjadi permasalahan global dikarenakan jika terdapat kerusakan lingkungan di suatu wilayah, bukan hanya wilayah yang bersangkutan yang merasakan dampak negatif namun juga dapat dirasakan secara global. Melihat kenyataan akan pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup, maka dunia internasional memulai langkah-langkah untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Baik negara maju hingga negara berkembang membentuk suatu kerjasama lintas negara (trans boundaries) untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup tersebut karena permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara individu oleh satu negara saja. Deforestasi menjadi topik utama di dalam berbagai forum diskusi yang membahas isu perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan sektor kehutanan. 
    Konferensi lingkungan hidup yang pertama kali diselenggarakan adalah Konferensi Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia pada tahun 16 Juni 1972 yang dihadiri oleh perwakilan dari 114 negara. Konferensi yang di prakarsai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini merupakan titik awal upaya penyelamatan lingkungan hidup global. Melalui Konferensi Stockholm ini disepakati pentingnya kesadaran pemeliharaan lingkungan hidup melalui moto “The Only One Earth” (hanya ada satu bumi) serta menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Pertemuan ini menghasilkan deklarasi lingkungan hidup, rencana aksi lingkungan hidup, dan rekomendasi tentang kelembagaan pendukung rencana aksi tersebut. Hal ini diwujudkan dengan membentuk suatu lembaga yang bernama United Nations Envvironment Programme (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya. 
  Dua puluh tahun setelah Konferensi Stockholm, diselenggarakan oleh PBB United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal sebagai The Earth Summit (KTT Bumi) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil yang merupakan bentuk penegasan dari Deklarasi Stockholm, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Dalam konferensi ini kemudian ditandatanganilah United Nations Convention on Climate Change (UNFCCC). Otoritas tertinggi UNFCCC dipegang oleh pertemuan anggota yang dilakukan setiap tahunnya yang dikenal dengan nama Conference of Parties (COP) semenjak tahun 1995. Pada pertemuan COP ke-3 yang diadakan di Kyoto, Jepang, suatu persetujuan internasional yang di sebut Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Protokol Kyoto mengatur pengurangan emisi gas rumah kaca dari semua negara-negara yang meratifikasinya (Aadrean, 2010). 
  Mengingat bahwa Protokol Kyoto akan berakhir masa perjanjian pada tahun 2012, oleh sebab itu dunia internasional mempersiapkan suatu kesepakatan pengganti yang diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih baik dengan mengikutsertakan skema untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Dalam konvensi perubahan iklim di Cancun, Meksiko tahun 2010, dunia bersepakat untuk memasukkan REDD dalam mekanisme upaya penurunan emisi gas karbon yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) disepakati pada COP tentang perubahan iklim di Montreal, Kanada di tahun 2005. REDD merupakan sebuah mekanisme global yang memberikan insentif kepada negara berkembang pemilik hutan seperti Indonesia untuk melindungi hutannya. Skema ini mulai hangat diperbincangkan dalam putaran perundingan perubahan iklim. 
  REDD dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika, dua negara pemilik hutan tropis yang merasa tidak mendapat keuntungan dari skema di bawah rezim Protokol Kyoto. Dua skema Protokol Kyoto, Emission Trading (ET) dan Joint Implementation (JI) hanya berlaku untuk dan di antara negara maju atau negara Annex I. Skema lain dari Protokol Kyoto, Clean Development Mechanism (CDM), memang turut melibatkan negara berkembang tetapi dibatasi tidak lebih dari 1% total emisi tahunan negara maju yang menginvestasikan proyek CDM-nya di negara berkembang. Jumlah yang sangat kecil ini tidak lepas dari prinsip pengurangan emisi domestik sebagai tujuan utama Protokol Kyoto. Artinya, mekanisme ET, JI, maupun CDM hanya pelengkap (additional) atas tujuan utama Protokol Kyoto yakni mendesak negara Annex I agar mengurangi emisi domestiknya.
  REDD berkembang dengan menambahkan tanda “plus” di belakangnya dengan menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal strategi REDD+ berupa peranan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan (www.redd-indonesia.org). Secara spesifik, mekanisme REDD+ berupaya mendorong penurunan emisi melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Pelaksanaan yang efektif dari mekanisme REDD+ memiliki potensi untuk juga memberikan dampak positif terhadap keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan, dan penguatan hak-hak masyarakat adat (Bakker, 2014, hlm. 75).
  Pada bulan September 2012, Satuan Tugas REDD+ meluncurkan suatu dokumen strategi nasional yang disusun untuk mencapai tujuan jangka panjang, yakni: 1) Menurunkan emisi GRK yang berasal dari penggunaan lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF), 2) Meningkatkan simpanan karbon, 3) Meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati dan 4) Meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan dan lahan
(Stranas REDD+). Strategi pencapaian tujuan tersebut dituangkan dalam lima pilar strategis yang memilah-milah usulan program implementasi REDD+ di Indonesia, yaitu: a) perangkat kelembagaan dan proses, b) perangkat hukum dan peraturan, c) program strategis, d) paradigma dan budaya kerja dan e) partisipasi masyarakat. Stranas REDD+ kemudian dituangkan dalam strategi dan rencana aksi masing-masing provinsi mitra untuk menunjukkan proyek/program/aktivitas yang menjadi prioritas provinsi tersebut (SRAP/STRADA, 2014, hlm. 78).
Berdasarkan ulasan latar belakang masalah tersebut maka makalah ini akan di tulis dengan judul “REDD+ Sebagai Alternatif Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah
  Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah: 
  • Apakah yang di maksud dengan REDD+ dan keanekaragaman hayati?
  • Bagaimana pendekatan REDD+?
  • Bagaimana skema pendanaan REDD+?
  • Bagaimana proses pelaksanaan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) REDD+?

1.3 Tujuan Penulisan
  Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah:
  • Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan REDD+ dan keanekaragaman hayati.
  • Untuk mengetahui pendekatan REDD+.
  • Untuk mengetahui skema pendanaan REDD+.
  • Untuk mengetahui proses pelaksanaan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) REDD+.

1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Teoritis
  • Bagi kampus, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam materi REDD+ dan keanekaragaman hayati.
  • Bagi peneliti/penulis berikutnya, diharapkan dapat memberikan masukan dan gambaran mengenai REDD+ dan keanekaragaman hayati.

1.4.2 Manfaat Praktis
  Bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti bisa menjadi bahan baca atau panduan untuk penulisan ilmiah terkait dengan REDD+ dan keanekaragaman hayati.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar REDD+ dan Keanekaragaman Hayati
1. Pengertian REDD+
  Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation Plus) atau di singkat dengan REDD+ dilandasi ide utama yaitu menghargai individu, masyarakat, proyek dan negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca – GRK (Green House Gas – GHG) yang dihasilkan hutan. REDD+ berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu yang singkat, dan pada saat bersamaan membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan pembangunan berkelanjutan. REDD+ merupakan skema pengurangan emisi yang dapat mengakomodasikan berbagai jenis pengelolaan hutan dan lahan yang dalam konteks perundang-undangan kehutanan Indonesia dapat mencakup hutan lindung dan konservasi, hutan, hutan produksi, atau hutan konversi yang telah menjadi area penggunaan lain (non-hutan) (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
  REDD+ dianggap sebagai cara paling nyata, murah, cepat dan saling menguntungkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK); nyata karena seperlima dari emisi GRK berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (DD); murah karena sebagian besar DD hanya menguntungkan secara marginal sehingga pengurangan emisi GRK dari hutan akan lebih murah ketimbang alat atau instrumen mitigasi lainnya; cepat karena pengurangan yang besar pada emisi GRK dapat dicapai dengan melakukan reformasi kebijakan dan tindakan-tindakan lain yang tidak tergantung pada inovasi teknologi; saling menguntungkan karena berpotensi untuk menghasilkan pendapatan dalam jumlah besar dan perbaikan ke pemerintahan dapat menguntungkan kaum miskin di negara-negara berkembang dan memberi manfaat lingkungan lain selain yang berkaitan dengan iklim (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).

2. Sejarah REDD+
  Perdebatan mengenai REDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka implementasi konvensi perubahan iklim, terutama Protokol Kyoto. Pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto menyebutkan: Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest management practices, afforestation and reforestation (melindungi dan memperluas penyerapan dan penampungan gas-gas rumah kaca tidak diatur oleh Protokol Montreal, dengan mengingat komitmennya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lingkungan internasional; mendukung praktik-praktik pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan, penghijauan kembali dan penanaman hutan). hal yang tercantum dalam Protokol Kyoto ini diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana Protokol Kyoto yang dibahas di COP 7 di Marrakesh, Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakech Accords. Salah satu keputusan Marrakech Accords adalah mengenai penggunaan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk definisi, modalitas (cara) dan panduannya atau disebut LULUCF (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
  Terkait dengan definisi hutan dan panduan mekanisme CDM yang memasukkan isu kehutanan aforestasi dan reforestasi, Marrakech Accords (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). memutuskan beberapa panduan dasar, antara lain sebagai berikut: 
Definisi Hutan: 
  • Area nya minimal 0,05-1 hektar
  • Tutupan tajuk lebih dari 10-30 persen
  • Ketinggian tajuk 2-5 meter
  • hutan tertutup dengan variasi jenis
  • Semak belukar yang menutupi rapat tanah atau hutan terbuka
  • Tegakan pohon alam dan perkebunan yang belum mencapai tingkat kepadatan jenis atau keragaman jenis 10-30 persen atau ketinggian pohon 2-5 meter akan diperhitungkan sebagai hutan jika wilayah-wilayah itu biasanya membentuk kawasan hutan yang untuk sementara tidak berhutan karena intervensi manusia seperti dipanen atau akibat dari penyebab alamiah tapi diharapkan kembali menjadi hutan.
  Sejarah perjalanan konsep RED, REDD, dan REDD+ dapat dilihat dalam Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Sejarah perjalanan konsep RED, REDD, dan REDD+ (DNPI, 2012).
Sumber: Nurtjahjawilasa, dkk. 2013.

  Definisi hutan sebagaimana ditetapkan dalam Marrakech Accord tersebut agak berbeda dengan definisi yang ditetapkan dalam Permenhut No. P.14/Menhut-II /2004, tentang tata cara aforestasi dan reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih (MPB/CDM) di mana disebutkan bahwa definisi hutan adalah tingginya minimum 5 meter, penutupan tajuknya minimum 30% dan luasnya minimum 0,25 ha. Saat ini Pustanling (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) sedang menggarap RSNI Penghitungan Deforestasi dan salah satu pembahasannya adalah mengenai definisi hutan. Beberapa definisi hutan yang sekarang sedang dalam proses pembahasan Pustanling adalah sebagai berikut:
  • Hutan adalah hamparan lahan dengan luas minimum 0,25 ha yang ditumbuhi vegetasi berkayu (pohon) berbagai jenis dan umur yang tajuknya menutup hamparan tersebut minimum 30%.
  • Hutan dalam interpretasi citra penginderaan jauh adalah obyek berwarna hijau dengan rona sedang hingga gelap, serta bertekstur halus hingga kasar pada tampilan gambar dengan kombinasi R (Red) :G (Green) :B (Blue) dengan kanal R diisi dengan spektrum SWIR, kanal G diisi dengan spektrum NIR, kanal B diisi dengan spektrum Red, hutan Alam adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
  • Hutan Lahan Kering adalah tipe hutan alam yang lantai hutannya tidak pernah terendam air, baik secara periodik maupun sepanjang tahun.
  • Hutan mangrove adalah tipe hutan yang terutama terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, lantai hutannya tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan waktu surut.
  • Hutan primer adalah areal berhutan yang ditumbuhi oleh spesies asli setempat, sebagian besar tidak tersentuh oleh kegiatan manusia, baik langsung maupun tidak langsung dan proses ekologi di hutan tersebut tidak terganggu secara signifikan.
  • Hutan rawa adalah hutan yang lantai hutannya secara periodik atau sepanjang tahun terendam air.
  • Hutan sekunder adalah suatu keadaan masyarakat hutan yang pohon-pohonnya didominasi oleh jenis pionir yang tumbuh setelah hutan itu mengalami gangguan dan terbentuk rumpang (gap).
  • Hutan tanaman adalah hamparan lahan yang ditanami dengan vegetasi berkayu (pohon), pada umumnya satu jenis, berkelas umur dengan luas minimal 0,25 ha.
  Selanjutnya, ada tiga istilah lain yang sudah tertuang dalam Protokol Kyoto (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) yakni aforestasi, sustainable forest management dan reforestasi. Ketiganya didefinisikan sebagai berikut:
  •  Aforestasi adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dan tidak berhutan paling tidak selama 50 tahun kemudian dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah.
  • Reforestasi adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi berhutan. Metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah di daerah yang dulunya berhutan tapi telah dikonversikan menjadi daerah yang tidak berhutan. Untuk komitmen pertama (2008–2012) tindakan reforestasi dibatasi pada reforestasi yang akan dilakukan di wilayah-wilayah yang tidak berhutan pada 31 Desember 1989. 
  • Sustainable Forest Management adalah praktik yang sistematis untuk menjaga dan menggunakan tanah berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang relevan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui cara yang berkelanjutan.
Keempat konsep ini setidaknya menggarisbawahi beberapa isu yang menimbulkan perdebatan serius dalam perundingan perubahan iklim, termasuk ketika perdebatan REDD mulai mengadopsi konsep-konsep tersebut. Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan yang sudah berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan signifikan. Papua Nugini sebelum COP 11 di Montreal tahun 2005 melihat perlunya upaya serius mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif PNG ini didorong kuat oleh Kevin Condrad, duta besar dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad menjalani studi di Columbia Business School dengan fokus pada proyek penelitian mengenai apakah uang dari kredit karbon setara dengan pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkendali memang menjadi masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim sebagai peluang politik untuk merundingkan nilai ekonomi hutan dalam pasar karbon dan menekan laju deforestasi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Agar mendapat resonansi politik yang signifikan, Profesor Geoffrey Heal, pembimbing proyek penelitian Condrad dalam proyek tersebut, mendukung Condrad untuk membujuk Perdana Menteri PNG, Michael Somare, agar mendorong pembentukan koalisi yang menyuarakan kredit karbon hutan dalam perundingan perubahan iklim. Pada Januari 2005, Somare menyerukan pembentukan Coalition for Rainforest Nations pada forum pemimpin dunia yang diselenggarakan di universitas Columbia. Pada bulan Mei, dalam acara Global Roundtable on Climate Change di universitas Columbia, Somare kembali mengusulkan hal serupa dengan meminta rekan-rekannya dari negara-negara hutan hujan seperti Peru, Kongo, Kosta Rika, Republik Dominika, Mozambik, Tanzania, dan Zambia untuk membentuk koalisi tersebut. Koalisi negara-negara hutan hujan yang terbentuk ini kemudian mengusung ambisi untuk memasukkan sertifikat pengimbangan emisi terkait dengan deforestasi dalam pasar emisi karbon global (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
PNG kemudian menggandeng Kosta Rika yang juga sedang dililit utang untuk mencari sumber alternatif pemulihan ekonomi. Dalam proposal kedua negara yang dibahas pada COP Montreal tersebut, PNG dan Kosta Rika mengajukan dua opsi kerangka hukum ke depan: Pertama, membuat protokol tambahan yang khusus mengatur emisi dari deforestasi dan degradasi. Kedua, mengembangkan lebih lanjut substansi yang sudah tercantum dalam Protokol Kyoto dan Marrakech Accords dengan salah satu tambahan penting yakni proyek kredit karbon harus dibuat secara spesifik untuk isu deforestasi dan degradasi. Dengan kata lain, negara yang ingin dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan seharusnya diberi kompensasi secara finansial melalui mekanisme pasar karena sudah melakukan upaya itu dengan menahan diri untuk tidak melakukan konversi hutan demi pertumbuhan ekonomi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Selain Papua Nugini dan Kosta Rika, proposal ini didukung oleh enam negara lain, yakni: Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo, Republik Dominika dan Nikaragua. Negara-negara ini menjadi koalisi yang disebut dengan “Koalisi Negara hutan hujan” (Coalition of Rainforest Nations) dan menunjuk universitas Columbia sebagai sekretariat. Banyak negara lain menyepakati pentingnya isu yang disampaikan PNG dan Kosta Rika, sehingga COP membentuk grup kontak, semacam panitia khusus, untuk merancang kesimpulan yang menjadi bahan tindak lanjut dalam menjawab isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam COP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Dalam paragraf 1 b (iii) BAP disebutkan bahwa: Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable forest management, dan perluasan stok karbon di negara-negara berkembang. Dengan demikian, cakupan REDD dalam pasal ini adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SFM. Konsep ini persis mengikuti logika LULUCF yang disepakati dalam Marrakech Accord, sehingga kerap disebut REDD plus LULUCF (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Pasal lain dalam Bali Action Plan (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) juga mengemukakan tiga hal terkait dengan REDD yakni: 
  • Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project REDD.
  • Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang.
  • Panduan untuk proyek-proyek REDD lewat metodologi yang kokoh dan dapat dipercaya.
  Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek REDD di berbagai lokasi, termasuk di Indonesia. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD+. Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).

3. Pengertian keanekaragaman hayati
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Banyaknya sumber daya alam yang terdapat di Indonesia tidak terlepas dari lokasinya di daerah tropis. Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah dengan adanya hutan tropis, yang di dalamnya terdapat berbagai macam tumbuhan dan hewan. Hutan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di dunia. Indonesia termasuk dalam daftar negara megabiodiversiti, yang hanya tertandingi oleh Afrika dan Zaire, dan sebagian dari kekayaan hayati tersebut banyak di antaranya tidak dijumpai di belahan bumi manapun. Kekayaan spesies Indonesia tercatat dalam urutan kesatu untuk mamalia (436 spesies, 51% endemik), kupu-kupu (121 spesies, 44% endemik), palem (477 spesies, 47% endemik), keempat untuk reptil (512 spesies, 29% endemik), kelima untuk burung (1.519 spesies, 28% endemik), keenam untuk amphibi (270 spesies, 37% endemik), dan ketujuh tumbuhan berbunga (29.375 spesies, 59% endemik) (Dirjen PHKA, 2007).
Menurut Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (1995, hlm. 2) keanekaragaman hayati diartikan sebagai keseluruhan genus, spesies, dan ekosistem di dalam suatu wilayah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 disebutkan bahwa keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman nya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies, dan ekosistem. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk yang paling sederhana seperti jamur atau bakteri sampai yang rumit seperti manusia atau satwa. Jadi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman hayati adalah keseluruhan makhluk hidup yang terdapat di bumi meliputi yang ada di daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya.
Keanekaragaman hayati sangat penting bagi manusia karena merupakan pendukung kehidupan yang memberi manusia memperoleh ruang hidup yang di dalamnya terdapat flora, fauna, dan sebagainya untuk dikelola secara bijaksana oleh manusia, di mana sebenarnya manusia sendiri adalah salah satu komponen keanekaragaman hayati (Indrawan. dkk, 2007, hlm. 2). Keanekaragaman hayati juga dijelaskan oleh World Wildlife Fund (Indrawan. dkk, 2007, hlm. 15) sebagai jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka susun menjadi lingkungan hidup.
Makhluk hidup yang beragam dan tersebar tidak merata di muka bumi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan. Menurut Indrawan. dkk (2007, hlm. 15), keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat, antara lain:
  • Keanekaragaman spesies; semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan prostista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler)
  • Keanekaragaman genetik; variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu-individu dalam satu populasi.
  • Keanekaragaman komunitas; komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing. 
Ketiga tingkat keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi manusia.

4. Manfaat keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena keberlangsungan hidup manusia bergantung pada keseimbangan dari alam, baik hewan maupun tumbuhan. Jika keanekaragaman hayati terganggu maka secara pasti akan berdampak langsung pada manusia. Dampak-dampak tersebut seperti kekurangan makanan, terganggunya ekosistem, perubahan habitat, sampai kepada dampak yang paling parah yaitu bencana alam. Karena keanekaragaman dapat memberikan dampak langsung kepada manusia, maka manusia harus selalu menjaga keseimbangan alam agar tetap stabil. Manusia boleh saja memanfaatkan keanekaragaman makhluk hidup di bumi, akan tetapi harus dalam konteks efisiensi.
Manfaat keanekaragaman hayati sangat banyak bagi manusia, seperti manfaat ekonomis, ekologis, sebagai sumber makanan, dan berbagai manfaat lainnya. Menurut Mutiara (2008, hlm. 31-33) ada enam manfaat dari keanekaragaman hayati bagi manusia antara lain:
  • Sebagai sumber bahan pangan, papan, dan obat; dalam kehidupan sehari-hari manusia memanfaatkan makhluk hidup yang ada di sekitarnya untuk makanan, obat-obatan, dan membuat rumah. pemanfaatannya antara lain seperti sayur-sayuran, kayu, kunyit, ayam, sapi, kambing, dan sebagainya.
  • Sebagai sumber pendapatan/devisa negara; keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan manusia, seperti pengelolaan hutan, mengambil hasilnya, dan kemudiannya menjualnya.
  • Sebagai sumber plasma nutfah; plasma nutfah adalah sifat-sifat unggul yang ada pada makhluk hidup.
  • Manfaat ekologis; keanekaragaman hayati merupakan komponen ekosistem yang sangat penting, misalnya hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki nilai ekologis atau nilai lingkungan yang penting bagi bumi, antara lain sebagai paru-paru bumi dan dapat menjaga kestabilan iklim global, yaitu dengan mempertahankan suhu dan kelembaban udara.
  • Manfaat keilmuan; makhluk hidup yang beraneka ragam di dunia ini merupakan sumber ilmu yang masih dapat terus digali. Masih banyak rahasia alam yang belum dapat ditemukan dan dipecahkan oleh manusia. 
  • Manfaat keindahan; makhluk hidup yang beraneka ragam di dunia ini menambah keindahan alam. Manusia seringkali memanfaatkan keanekaragaman makhluk hidup untuk keindahan, seperti membuat taman yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan.
5. Konservasi Keanekaragaman Hayati
Secara umum, hilangnya keanekaragaman hayati sebagai akibat dari aktivitas manusia yang seringkali tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Sebagai contoh, hutan tropis basah yang merupakan rumah bagi spesies terestrial, hanya dalam waktu setengah abad telah hilang seluas 9 juta km persegi, dengan banyaknya hutan yang rusak setiap tahunnya. Sebagai gantinya hanya dihasilkan lahan seluas 2 juta km persegi dari 15 juta km persegi lahan perkebunan produktif. Lapisan tanah yang miskin di daerah hutan tropis makin terdegradasi dan hanya menyisakan sedikit untuk produktivitasnya. Sekitar 10% dari hutan yang masih bagus kondisinya terletak di tebing pegunungan yang curam dengan curah hujan yang tinggi dan kondisi cuaca yang selalu berubah-ubah serta sulit diprediksi (Supriatna, 2008, hlm. 101).
Keanekaragaman hayati sejatinya harus selalu terjaga agar terpenuhinya segala kebutuhan hidup manusia pada khususnya. Pemerintah Indonesia begitu sadar dengan pentingnya keseimbangan keanekaragaman hayati tersebut, dari itu pemerintah Indonesia mengeluarkan produk hukum untuk mengatur tatanan hidup manusia agar tidak merusak lingkungan. Untuk konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tiga azas, yaitu tanggung jawab, berkelanjutan, dan bermanfaat.
Terdapat beberapa prinsip yang tengah berkembang untuk konservasi keanekaragaman hayati. Indrawan. dkk, (2007, hlm. 11-12) menyebutkan bahwa ada lima prinsip dalam mendukung upaya konservasi, antara lain:
  • Keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi,
  • Kepunahan spesies dan populasi yang telalu cepat harus dihindari,
  • Kompleksitas ekologi harus dipelihara,
  • Evolusi harus berlanjut, dan
  • Keanekaragaman hayati memiliki nilai instrinsik (keindahan).
Apabila terlaksanakan kelima prinsip tersebut maka keseimbangan keanekaragaman hayati pasti akan selalu terjaga. Namun apabila kelima prinsip ini tidak terlaksana maka kepunahan dari berbagai spesies akan terjadi dan akan menurunkan keanekaragaman hayati yang nantinya berimbas kepada semakin sedikit manfaat yang dapat diperoleh manusia. 
Konservasi keanekaragaman hayati harus dalam bentuk tindakan nyata baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Menurut Bambang (1999, hlm. 186-187) secara umum bentuk konservasi dapat dibedakan atas dua golongan, antara lain: (1) Konservasi in situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (Cagar alam dan Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam). (2) Konservasi ek situ yaitu kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di luar habitat aslinya. Konservasi ek situ dilakukan oleh lembaga konservasi, seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, taman safari, dan tempat penyimpanan benih dan sperma satwa.

2.2 Pendekatan REDD+
Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED (satu D), yang berkembang menjadi REDD (dua D) di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+ (dengan Plus, masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007 (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Konsep dasar REDD+ ini tidak berubah sampai saat ini. untuk dapat memahami secara lebih mudah skema REDD+ tersebut dapat dilihat skema sebagaimana yang digambarkan oleh Pedroni (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Diorama skema REDD yang memperlihatkan hubungan antara jenis penggunaan lahan dan stok karbon (ton C/ha)
Sumber: Nurtjahjawilasa, dkk. 2013

Dinamika perubahan stok karbon dari suatu kawasan inilah yang menjadi pertimbangan utama dalam skema REDD+. Sepanjang waktu pengelolaan berbagai jenis kawasan tersebut terjadi dinamika penurunan stok karbon karena ada emisi karbon dan atau terjadi peningkatan stok karbon melalui penyerapan (sequestration/removal) karbon. Di dalam skema REDD+ masing-masing tipologi hutan dan kawasan itu minimal harus dipertahankan stok karbon dasarnya (baseline). Bagi kawasan yang masih di atas batas definisi hutan stok karbonnya harus dijaga atau ditingkatkan. Sedangkan kawasan yang stok karbonnya di bawah batas definisi hutan harus meningkatnya melalui berbagai upaya antara lain penanaman hutan sehingga selama jangka waktu tertentu akan terjadi penambahan (selisih dengan delta positif) dari proses mengemisi dan penyerapan karbon di kawasan itu (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Dalam skema REDD+ hutan yang masih bagus stok karbonnya harus dipertahankan dan ini dapat terjadi bila dilakukan konservasi terhadap hutan-hutan virgin (intact forest) yang ada. Pada hutan klimaks yang tidak terganggu stok karbonnya telah maksimal dan telah terjadi keseimbangan antara proses emisi dengan proses penyerapan secara alamiah. Fluktuasi plus-minus emisi yang besar dapat saja terjadi secara alamiah bila ada bencana, akan tetapi kemudian dapat pulih kembali dalam waktu yang relatif singkat sampai terjadi keseimbangan lagi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Pada hutan yang dikelola untuk manfaat lain misalnya untuk fungsi produksi, fluktuasi stok karbon akan terjadi dengan sangat signifikan seperti grafik (pola gergaji). Dalam konteks pengelolaan hutan yang dapat mempertahankan turun naiknya stok karbon agar tidak melewati batas definisi hutan, sistem pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management) mutlak dilakukan. Dinamika fluktuasi stok karbon pada hutan yang berfungsi produksi ini sangat tinggi. Pada saat pemanenan kayu akan terjadi penurunan stok karbon yang signifikan pada satu sampai dua tahun pertama, sebagai akibatnya terjadi kerusakan hutan, atau stok karbon yang dikeluarkan dalam bentuk kayu bulat, dan secara bersamaan akan menghasilkan emisi karbon pula. Setelah itu, keterbukaan tajuk-tajuk pohon di hutan akan memunculkan kembali re-generasi alam dan pertumbuhan yang cepat dari lapisan kedua tajuk (secondary layer) tegakan sisa. Pada tahapan ini terjadi proses emisi dan penyerapan karbon dari berbagai macam komponen yang membentuk hutan, seperti pohon, serasah, tanah, dan jasad renik dan sebagainya. Namun dalam waktu panjang dinamika fluktuasi stok karbon ini akan kembali ke posisi sebagai mana intact forest apabila kita dapat mengelola dan menjaga hutan secara lestari (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Pada prinsipnya konsep REDD+ mengacu kepada dua aspek kegiatan yaitu :
  • Pengembangan mekanisme memberi imbalan pada negara berkembang yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi;
  • Kegiatan persiapan yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme REDD+ (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Satu isu utama lain dari REDD+ adalah benefit sharing yaitu bagaimana menciptakan skema pembagian manfaat sebagaimana yang sudah berlakukan dalam ‘pembayaran untuk jasa lingkungan’ atau ‘payments for environmental services (PeS)’ bertingkat ganda (internasional dan nasional), seperti diilustrasikan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Konsep skema pembayaran jasa lingkungan bertingkat ganda untuk REDD+ 
Sumber: Nurtjahjawilasa, dkk. 2013.

Di tingkat internasional pembeli jasa akan membayar secara sukarela ataupun wajib kepada penyedia jasa (pemerintah atau badan-badan sub-nasional di negara berkembang) untuk jasa lingkungan (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), atau kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (reformasi tenurial untuk penegakan hukum). Di tingkat negara, pemerintah nasional atau lembaga perantara lain (pembeli jasa) akan membayar pemerintah sub-nasional atau pemilik lahan (penyedia jasa) untuk mengurangi emisi atau melakukan kegiatan lain yang bisa mengurangi emisi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Strategi REDD nasional (di samping PES) akan menyertakan serangkaian kebijakan seperti reformasi tenurial, pengelolaan kawasan hutan lindung yang lebih efektif dan kebijakan yang mengurangi ketergantungan pada hasil hutan dan lahan hutan. Salah satu keuntungan menggunakan pendekatan nasional adalah kebijakan tersebut dapat memperoleh kredit bila terbukti mengurangi emisi (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Ilustrasi dapat dilihat dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Ilustrasi pendekatan REDD (CIFOR, 2010)
Sumber: Nurtjahjawilasa, dkk. 2013

Gambar 4. memberikan ilustrasi perbedaan tiga pilihan pendekatan REDD.
a. Pendekatan sub-nasional
Pendekatan sub-nasional mengusulkan kegiatan REDD+ diterapkan di areal dengan batas geografis tertentu, atau sebagai proyek oleh individu, masyarakat, lembaga non-pemerintah, perusahaan swasta atau pemerintah daerah dan nasional. Dalam ketiga pendekatan tersebut pemberian kredit untuk kegiatan REDD+ memerlukan kesepakatan aturan-aturan dalam pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV), sistem pemberian kredit, serta kelembagaan di tingkat nasional (misalnya pemegang wewenang yang ditunjuk atau badan/lembaga serupa yang dapat menyetujui semua proyek) dan tingkat internasional (misalnya badan penasihat dan pusat pendaftaran proyek dan kredit REDD+) (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Tata cara dan prosedur yang dikembangkan untuk membangun Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) melalui Protokol Kyoto bisa dijadikan model untuk merancang kelembagaan REDD+. Pengembangan CDM membuka peluang negara maju (Annex I) untuk menyeimbangkan emisi gas rumah kaca mereka dengan mendukung proyek di negara-negara berkembang yang mengurangi emisi GRK. untuk sektor kehutanan, hanya proyek aforestasi dan reforestasi (A/R) yang saat ini memenuhi persyaratan untuk ikut serta, dan sejauh ini hanya satu proyek yang sudah disetujui. CDM telah terbukti berhasil di sektor lain, terutama energi. CDM memiliki nilai pasar 7,4 miliar dolar AS pada tahun 2007 (Hamilton, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Lambatnya perkembangan proyek A/R CDM disebabkan oleh peraturan yang rumit, dan biaya metodologi dan pendaftaran proyek yang mengakibatkan biaya transaksi menjadi sangat tinggi. Hambatan lain adalah kredit sementara yang dihasilkan A/R CDM tidak bisa ditransfer dan tidak bisa diperdagangkan di Sistem Perdagangan emisi uni Eropa atau EU Emission Trading System (ETS). ETS sejauh ini merupakan pasar karbon yang terbesar, bernilai 50 miliar dolar AS pada tahun 2007, atau 78% dari perdagangan karbon dunia (Hamilton, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Pasar karbon sukarela untuk proyek pencegahan deforestasi merupakan satu contoh lain dari pendekatan sub-nasional. Transaksi pasar karbon sukarela mencapai 330 juta dolar AS pada tahun 2007 (proyek yang berhubungan dengan kehutanan mencapai 18% dari pangsa pasar). Nilai ini kurang dari 5% nilai pasar CDM. Delapan puluh persen transaksi di pasar karbon sukarela melibatkan pembeli dari sektor swasta (Hamilton, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Perkembangan CDM di sektor lain relatif berhasil, struktur kelembagaannya cukup mapan, dan beberapa negara kesulitan untuk terjun langsung ke pendekatan nasional REDD+. Karena itu, beberapa pihak di UNFCCC mengusulkan agar mekanisme berbasis proyek harus disertakan dalam kerangka kerja REDD+, contohnya usulan Paraguay kepada UNFCCC mewakili Argentina, Panama, Paraguay dan Peru (CIFOR, 2010). Perundingan pasca 2012 melalui Protokol Kyoto (Pasal 3.9) juga membicarakan REDD+ dalam CDM (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
b. Pendekatan nasional
Usulan kebanyakan negara kepada UNFCCC condong ke arah pendekatan nasional. hal ini mencerminkan pengalaman dalam menghadapi kebocoran dan biaya transaksi, yang menjadi risiko dari pendekatan sub-nasional. Pendekatan nasional juga menyoroti isu kedaulatan karena mengakui bahwa memerangi deforestasi berkaitan dengan perubahan kebijakan yang luas. Pendekatan ini lebih berpotensi mengurangi emisi dalam skala luas dan berjangka panjang dibandingkan dengan menggunakan pendekatan sub nasional atau bertingkat. Pemerintah yang menerapkan pendekatan nasional akan membangun sistem nasional untuk MRV dan akan mendapat imbalan dari pengurangan emisi berdasarkan tingkat referensi yang sudah ditetapkan. Imbalan untuk pengurangan emisi berbentuk penerimaan kredit karbon yang dapat diperdagangkan, bantuan uang dari dana global atau mekanisme lain. Dalam pendekatan nasional kegiatan pengurangan emisi di tingkat sub-nasional tidak akan menerima kredit langsung dari tingkat internasional (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Untuk memperoleh sistem insentif internasional ini, setiap negara peserta (tergantung keadaan masing-masing), memiliki tanggung jawab untuk menerapkan kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di seluruh wilayah kedaulatannya. Kebijakan dan tindakan dalam hal ini termasuk sistem untuk memberi kredit REDD+ (seperti pembayaran untuk jasa lingkungan atau PES) kepada masyarakat lokal. Dengan pendekatan nasional, pemerintah dapat menerapkan seperangkat kebijakan dan tindakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
c. Pendekatan bertingkat
Mengingat keadaan nasional yang beragam, sejumlah usulan yang diajukan ke UNFCCC menyarankan untuk memadukan kegiatan sub-nasional ke dalam kerangka kerja penghitungan nasional melalui pendekatan ‘bertingkat’ (dipaparkan secara jelas oleh Pedroni, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Dengan menggunakan pendekatan ini satu negara dapat memulai kegiatan REDD+ pada skala mana pun. Pihak yang memulai di tingkat sub-nasional bisa naik ke pendekatan nasional jika dapat memperkuat kapasitasnya dan memperbaiki tata kelola. Transisi ke pendekatan nasional menjadi keharusan, bisa dalam kerangka waktu yang disepakati atau ketika mencapai persentase areal hutan di bawah proyek REDD+ (CIFOR, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Meskipun transisi menuju pendekatan nasional harus dilakukan, kredit masih mungkin diberikan kepada upaya REDD+ di tingkat proyek. Pendekatan bertingkat ini memiliki 2 tampilan yang unik: Kemungkinan untuk naik tingkat dari pendekatan sub-nasional menjadi nasional. Negara bisa menghitung emisi dan menerima kredit internasional di tingkat sub-nasional dan nasional secara bersamaan. Dan masing-masing negara juga dapat menggunakan mekanisme pengkreditan yang berbeda.
Dalam pendekatan bertingkat, di mana penghitungan dan pemberian kredit dilakukan di tingkat sub-nasional dan nasional, prosedur MRV dan penentuan tingkat referensi perlu diselaraskan. Pengaturan pembagian kredit antara kedua tingkat dapat mencontoh mekanisme Kyoto Protocol Joint Implementation (JI). Pada akhir setiap periode penghitungan, negara perlu memisahkan antara pengurangan emisi total negara dan upaya pengurangan emisi di tingkat sub-nasional yang sudah menerima kredit (lihat Kotak 4.1). Sisanya adalah kredit yang diterima negara. Walaupun emisi karbon tingkat nasional gagal diturunkan, kegiatan sub-nasional yang sudah divalidasi dan diverifikasi secara terpisah tetap bisa menerima kredit. Tabel berikut ini menjelaskan tingkat efisiensi, fektivitas, kesetaraan dan keuntungan tambahan dari masing-masing jenis pendekatan (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Tabel 1: Tingkat Efektivitas, Efisiensi, Kesetaraan, dan Keuntungan Tambahan dari pendekatan nasional, pendekatan sub-nasional dan pendekatan bertingkat.
Sumber: Nurtjahjawilasa, dkk. 2013.

2.3 Skema Pendanaan REDD+
Dalam hal pendanaan tidak banyak negara berkembang mampu dan mempunyai keinginan politik untuk mendanai aspek REDD+ ini. Bahkan jika REDD dimasukkan ke dalam pasar karbon global, masih diperlukan pendanaan senilai 11-19 miliar dolar AS per tahun untuk mengurangi setengah jumlah emisi sebelum tahun 2020. Uang ini perlu dicari dari sumber dana lain kemungkinan besar ODA (Eliasch, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Meningkatnya donor yang tertarik pada REDD+ melambungkan dana ODA yang tersedia untuk karbon di sektor kehutanan. Dukungan untuk program atau anggaran akan membantu memperkuat lembaga-lembaga pemerintahan dan meningkatkan rasa kepemilikan atas sistem REDD+. Berikut ini adalah potensi sumber pendanaan untuk kegiatan REDD+.
Tabel 2. Potensi Sumber Pendanaan REDD+
Sumber: CIFOR, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013

2.4 Proses Pelaksanaan Pemantauan, Pelaporan, Verifikasi (MRV) REDD+
Berbagai metode telah tersedia dan sesuai untuk memantau deforestasi, degradasi hutan dan stok karbon. Pemantauan deforestasi dapat bertumpu pada teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan pengukuran di lapangan untuk pemastian. Pemantauan stok karbon dan degradasi hutan lebih sulit, tergantung pada pengukuran di lapangan dan ditunjang penginderaan jauh (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Ada trade-off antara biaya dan ketepatan/akurasi pengukuran. Ketepatan pengukuran penting untuk menjamin pengurangan emisi tidak terlalu tinggi/rendah dan imbalan diberikan dengan sesuai. Di beberapa negara, ketepatan yang tinggi harus berdasarkan gambar satelit beresolusi tinggi (misalnya untuk mendeteksi degradasi hutan atau deforestasi skala kecil), gambar berkala untuk kurun waktu tertentu (misalnya kalau ada tutupan awan), atau gambar yang memerlukan keahlian khusus untuk menafsirkannya (misalnya analisis gambar radar). Semua ini memerlukan biaya. Pengukuran di lapangan, yang penting untuk verifikasi dan pengukuran stok karbon, adalah kegiatan yang memakan waktu dan banyak dana untuk penerapan skala besar seperti inventarisasi nasional (Korhonen, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Trade-off antara biaya dan akurasi semakin penting karena negara yang membutuhkan teknologi pemantauan yang mahal dan canggih (karena tutupan awan, topografi yang bergunung-gunung, ataupun karena pendorong deforestasi dan degradasi hutan) sering kali justru tidak mempunyai kapasitas yang memadai. hal ini mengakibatkan banyak negara dalam UNFCCC meminta panduan dari dunia internasional mengenai metode pemantauan, pelaporan dan verifikasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan biaya terjangkau (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). 
Pada tahun 2001, dalam pertemuan ketujuh para pihak (COP) yang tergabung dalam UNFCCC di Marrakesh, Maroko, para pengambil kebijakan sepakat untuk tidak menyertakan pengendalian karbon dari sebagian besar kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF) di negara berkembang. Salah satu alasannya adalah kesulitan dalam memantau, melaporkan, dan membuktikan/verifikasi (MRV) pengurangan emisi yang sebenarnya. Sejak saat itu, terjadi kemajuan pesat di bidang pengembangan teknologi serta protokol pengkajian emisi yang menghadapi banyak masalah metodologis selama proses perundingan. Panduan Penghitungan Gas Rumah Kaca (GRK) yang diterbitkan Intergovernmental Panel on Climate Change Greenhouse Gas Accounting Guidelines (Penman, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) telah direvisi dua kali. Di dalamnya termasuk panduan untuk pengukuran di tingkat proyek.
Beberapa kelompok lain juga berusaha menyiasati permasalahan dengan melakukan proyek percontohan dan demonstrasi. Unsur-unsur sistem pengukuran dan pemantauan:
  • Karena adanya trade-off antara biaya dan akurasi, permasalahan utama MRV terpusat pada pencarian solusi yang hemat biaya. Sistem pemantauan dan evaluasi untuk REDD yang hemat biaya memerlukan keseimbangan antara penggunaan penginderaan jauh dan pengukuran di lapangan. Gambar satelit membantu merancang skema penarikan contoh di lapangan yang lebih efisien (misalnya menargetkan wilayah dengan keragaman yang tinggi), mengkaji perubahan luasan berbagai tipe lahan (disertai pemeriksaan di lapangan) dan untuk ekstrapolasi pengukuran dari skala plot ke skala regional/nasional (Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
  • Pengukuran di lapangan diperlukan untuk pengukuran karbon dan pengecekan pemetaan hutan yang berasal dari gambar satelit. emisi karbon yang berasal dari degradasi diperkirakan dari perubahan dua variabel utama, yaitu: (i) luasan deforestasi dan degradasi hutan; dan (ii) kepadatan karbon per satuan luasan. 
  • Teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan pengukuran di lapangan memainkan peran penting untuk memantau perubahan variabel tersebut.
a. Memantau daerah deforestasi
Penginderaan jauh merupakan satu-satunya metode yang sesuai untuk memantau deforestasi di tingkat nasional (DeFries dkk. dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Sejak awal tahun 1990, perubahan luasan hutan dipantau dari udara dengan penuh keyakinan (Achard, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Beberapa negara (seperti misalnya Brasil dan India) memiliki sistem yang sudah beroperasi selama beberapa dasawarsa; sedangkan negara lain mencoba membangun kapasitas tersebut atau melakukan pemantauan hutan dengan foto udara yang tidak membutuhkan analisis data atau peralatan komputer yang terlalu canggih (DeFries dkk. dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Pendekatan yang paling populer adalah pemetaan total (wall-to-wall) dan penarikan sampel (sampling). Pemetaan total, di mana seluruh wilayah negara dimonitor, merupakan pendekatan yang umum digunakan dan telah diterapkan oleh Brasil dan India. Penarikan sampel dapat menekan biaya analisis data, dan paling layak untuk kondisi di mana deforestasi terjadi di daerah yang terbatas dan jelas. Metode penarikan sampel yang disarankan antara lain penarikan sampel sistematis, di mana sampel diambil pada jarak tertentu (misalnya setiap 10 Km), dan penarikan sampel berstrata, di mana penarikan sampel berdasarkan pada variabel yang mewakili tingkat deforestasi (misalnya di daerah yang telah diklasifikasi sebagai rawan deforestasi) (Achard dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Pengetahuan para pakar bidang terkait juga dapat menentukan daerah prioritas penarikan sampel (DeFries dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Sebagai contoh, penarikan sampel berstrata digunakan untuk proyek pemantauan hutan tropis Amazon di Brasil (Projeto Monitoramento da Floresta Amazônica Brasileira por Satélite–PRODES). Mereka mengidentifikasi daerah prioritas berdasarkan hasil pemantauan di tahun sebelumnya untuk menentukan prioritas pada tahun berikut (INPE, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Pendekatan-pendekatan di atas bisa dikombinasikan: pendekatan berdasarkan penarikan sampel dapat diperluas menjadi pemetaan total pada periode berikut. Sebaliknya, pendekatan pemetaan total pada suatu periode pelaporan dapat diikuti dengan analisis terfokus pada daerah rawan deforestasi (penarikan sampel berstrata) di tahun berikutnya. Salah satu cara untuk menekan biaya adalah dengan pendekatan bertahap. Pada tahap pertama, gambar yang resolusinya rendah (misalnya MODI S) digunakan untuk mengidentifikasi lokasi tempat perubahan pemanfaatan lahan (daerah rawan deforestasi) terjadi. Pada tahap berikutnya, daerah rawan deforestasi dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan gambar beresolusi yang lebih tinggi yang lebih mahal (misalnya Landsat, SPOT, SAR). Dengan demikian, kita tidak perlu menganalisis seluruh wilayah hutan yang ada di satu negara.
b. Memantau daerah degradasi hutan
Degradasi hutan terjadi karena berbagai faktor yang juga mempengaruhi persyaratan pemantauan. Pemantauan perlu dilakukan secara berkala agar perubahan hutan yang terjadi dapat terhitung dan dikaitkan ke periode tertentu. Mengingat definisi degradasi hutan belum jelas, penginderaan jauh diperlukan untuk melakukan stratifikasi suatu wilayah untuk menentukan pemilihan lokasi pengukuran di lapangan. Pemantauan dengan penginderaan jauh lebih cocok kalau degradasi yang terjadi mengakibatkan pembukaan tajuk hutan seperti tebang pilih dan kebakaran hutan. Meskipun demikian, pengukuran di lapangan tetap diperlukan terutama apabila degradasi yang terjadi tidak menimbulkan bukaan tajuk, seperti pengambilan kayu mati dan tumbuh-tumbuhan di bawah naungan (Hardcastle dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Ada dua jenis metode penginderaan jauh untuk memantau degradasi hutan (Achard dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013): pendekatan secara langsung untuk mendeteksi bukaan tajuk hutan, dan secara tidak langsung melalui pendeteksian jaringan jalan serta kegiatan penebangan.
Pendekatan secara langsung untuk memantau tebang pilih dan kebakaran: Metode pendekatan ini memantau tutupan tajuk hutan untuk mengetahui bukaan atau pola bukaan yang selanjutnya dipakai untuk mengidentifikasi kegiatan degradasi. Sebagai contoh, Asner dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) mengembangkan algoritma untuk mengidentifikasi kegiatan penebangan dengan menggunakan data Landsat. Roy dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) mengembangkan metodologi untuk memetakan areal kebakaran hutan dengan menggunakan data MODI S. Metode ini menghasilkan akurasi 86-95% untuk mendeteksi areal tebang pilih dan kebakaran (Achard dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Pendekatan tidak langsung untuk memantau degradasi hutan: Pendekatan ini mengklasifi-kasikan lahan hutan menjadi ‘hutan utuh’ (hutan tak terganggu) dan ‘hutan tak utuh’ (hutan yang terganggu karena kegiatan penebangan maupun degradasi tajuk). Klasifikasi tersebut berdasarkan tutupan tajuk dan kriteria dampak manusia yang dapat ditetapkan berdasar keadaan nasional (Mollicone, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013). Degradasi hutan didefinisikan sebagai pengalihan dari hutan utuh menjadi hutan tak utuh. c. Memperkirakan stok karbon hutan
Penaksiran stok karbon diperlukan untuk menentukan emisi bersih hutan, dan diketahui lewat luas areal deforestasi atau degradasi hutan dan kepadatan karbon. Ada tiga pendekatan untuk memperkirakan cadangan karbon hutan di negara tropis, yaitu melalui rata-rata biomassa, pengukuran langsung di lapangan, dan pengukuran dengan penginderaan jauh (Gibbs dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
Agar data dari inventarisasi hutan dan penginderaan jauh dapat dipakai untuk mengukur stok karbon diperlukan pengembangan persamaan alometri (persamaan antara wilayah hutan dan stok karbon). Beberapa persamaan alometri global sudah tersedia (misalnya Chave, dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013), tetapi lebih baik mengembangkan persamaan yang sesuai untuk negara masing-masing. hal ini dapat dilakukan oleh lembaga penelitian kehutanan yang ada di kebanyakan negara berhutan luas, karena proses membangun persamaan alometri cukup mudah.
d. Memperkirakan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
Emisi bersih yang berasal dari perubahan lahan hutan dapat diperkirakan dengan mengukur perubahan areal hutan, digabungkan dengan nilai kerapatan karbon dari hutan. Tingkat emisi yang dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan tidak hanya dipengaruhi oleh jenis hutan, tetapi juga jenis perubahan itu sendiri. Sebagai contoh, perubahan dari hutan menjadi perkebunan kedelai, jagung ataupun padi dapat menghasilkan 60% emisi yang lebih tinggi dari perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Miles dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013).
e. Pendekatan inventarisasi
Pedoman metode pengukuran GRK yang terbaru dari IPCC (dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013) memuat dua pendekatan untuk memperkirakan besarnya perubahan stok karbon (Brown dan Braatz dalam Nurtjahjawilasa, dkk. 2013): (i) pendekatan berdasarkan perubahan stok karbon; dan (ii) pendekatan berdasarkan proses atau metode tambah-kurang.
  • Pendekatan perbedaan stok (Stock-difference approach): Pendekatan ini memperkirakan perbedaan stok karbon dalam pool karbon tertentu pada dua waktu berbeda. Pendekatan ini dapat dipakai apabila stok karbon pada pool terkait telah diukur dan diperkirakan secara terus menerus, misalnya melalui inventarisasi hutan nasional. Pendekatan ini cocok untuk memperkirakan emisi dari deforestasi maupun degradasi hutan, dan dapat diterapkan pada semua pool karbon. 
  • Pendekatan tambah-kurang (Gain-loss approach): Pendekatan ini dipakai untuk memperkirakan jumlah bersih dari penambahan maupun pengurangan yang terjadi pada suatu pool karbon. Di dalam konteks REDD, penambahan berasal dari pertumbuhan pohon dan perubahan antar pool karbon (misalnya, dari pool biomassa menjadi pool bahan organik karena hutan diamuk badai). Dengan demikian, kehilangan stok disebabkan oleh perubahan ke pool karbon lain atau lewat penebangan, pembusukan ataupun pembakaran. Metode ini dipakai apabila tersedia data tahunan seperti laju pertumbuhan dan volume penebangan.

BAB III 
PENUTUP 

3.1 Kesimpulan 
Deforestasi dan degradasi hutan ini juga telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia yang berkontribusi secara nyata terhadap perubahan iklim. Fenomena dampak kerusakan lingkungan hidup ini mendorong komunitas internasional untuk mencari penyebabnya dan untuk mengantisipasi akibatnya. Isu ini menjadi permasalahan global dikarenakan jika terdapat kerusakan lingkungan di suatu wilayah, bukan hanya wilayah yang bersangkutan yang merasakan dampak negatif namun juga dapat dirasakan secara global. Melihat kenyataan akan pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup, maka dunia internasional memulai langkah-langkah untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Baik negara maju hingga negara berkembang membentuk suatu kerjasama lintas negara (trans boundaries) untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup tersebut karena permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara individu oleh satu negara saja. Deforestasi menjadi topik utama di dalam berbagai forum diskusi yang membahas isu perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan sektor kehutanan. 
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation Plus) atau di singkat dengan REDD+ dilandasi ide utama yaitu menghargai individu, masyarakat, proyek, dan negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca – GRK (Green House Gas – GHG) yang dihasilkan hutan. REDD+ berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu yang singkat, dan pada saat bersamaan membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan pembangunan berkelanjutan. REDD+ merupakan skema pengurangan emisi yang dapat mengakomodasikan berbagai jenis pengelolaan hutan dan lahan yang dalam konteks perundang-undangan kehutanan Indonesia dapat mencakup hutan lindung dan konservasi, hutan, hutan produksi, atau hutan konversi yang telah menjadi area penggunaan lain (non-hutan) 
REDD berkembang dengan menambahkan tanda “plus” di belakangnya dengan menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal strategi REDD+ berupa peranan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan (www.redd-indonesia.org). Secara spesifik, mekanisme REDD+ berupaya mendorong penurunan emisi melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Pelaksanaan yang efektif dari mekanisme REDD+ memiliki potensi untuk juga memberikan dampak positif terhadap keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan, dan penguatan hak-hak masyarakat adat 

3.2 Saran 
Mengingat bahwa keanekaragaman hayati begitu penting bagi manusia, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Maka pemerintah harus menetapkan aturan baku untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Dengan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang disepakati pada COP tentang perubahan iklim di Montreal, Kanada di tahun 2005 telah memberikan angin segar bagi bangsa yang mempunyai banyak hutan. Yang nyatanya adalah REDD+ akan memberikan insentif kepada negara berkembang pemilik hutan seperti Indonesia untuk melindungi hutannya.

Referensi:

Buku dan Artikel/Jurnal:

Bakker, L., & Fristikawati, Y. 2014. Permasalahan Kehutanan di Indonesia dan Kaitannya dengan Perubahan Iklim Serta REDD+. Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.

Buckland, H. 2005. The oil for ape scandal: how palm oil is threatening orang-utan survival. Friends of the Earth, London, Inggris.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2008. Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Departemen Kehutanan.

Food and Agriculture Organization (FAO). 2006. Global Forest Resources Assessment FAO, Roma.

Indrawan M, Primack RB, dan Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Keputusan 1/CP.16 The Cancun Agreements - Outcome of the Work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention. Conference of Parties, UNFCCC, Cancun. Bonn: UNFCCC, 2010. hal. 12, para. 70.

Mutiara, Tiara. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam untuk Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Nurtjahjawilasa, Kusdamayanti Duryat, Irsyal Yasman, Yani Septiani, dan Lasmini. 2013. Konsep REDD+ dan Implementasinya. Jakarta: The Nature Conservancy Program Terestrial Indonesia.

Pamulardi, Bambang. 1999. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro). 2007. Indonesia And Climate Change: Current Status and Policies. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Environment/ClimateChange_Full_EN.pdf (28 Desember 2017).

Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Nomor 5 tentang Konservasi Sumber Daya. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Nomor 5 tentang Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Negara.

Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Sumber Internet:



No comments:

Post a Comment