Domestikasi Hewan Dan Keanekaragaman Hayati - LITERASI GEOGRAFI

Latest

Website ini membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan geografi, baik fisik, non fisik, dan sosial, serta yang bersangkutan dengan pendidikan geografi.

Friday, April 13, 2018

Domestikasi Hewan Dan Keanekaragaman Hayati


1. Latar Belakang Masalah
Menurut Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (1995:2) keanekaragaman hayati diartikan sebagai keseluruhan genus, spesies, dan ekosistem di dalam suatu wilayah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 disebutkan bahwa keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies, dan ekosistem. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk yang paling sederhana seperti jamur atau bakteri sampai yang rumit seperti manusia atau satwa. Jadi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman hayati adalah keseluruhan makhluk hidup yang terdapat di bumi meliputi yang ada di daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya.
Keanekaragaman hayati sangat penting bagi manusia karena merupakan pendukung kehidupan yang memberi manusia memperoleh ruang hidup yang di dalamnya terdapat flora, fauna, dan sebagainya untuk dikelola secara bijaksana oleh manusia, di mana sebenarnya manusia sendiri adalah salah satu komponen keanekaragaman hayati (Indrawan. dkk, 2007:2). Keanekaragaman hayati juga dijelaskan oleh World Wildlife Fund (Indrawan. dkk, 2007:15) sebagai jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka susun menjadi lingkungan hidup.
Pemanfaatan keanekaragaman hayati telah terjadi sejak lama, salah satunya adalah sejak dimulainya domestikasi hewan dan tumbuhan oleh manusia. Domestikasi merupakan hal penting dalam kehidupan manusia dan sudah terjadi sejak zaman dahulu, dimulai sekitar 12.000 sampai 14.000 tahun yang lalu, selama revolusi pertanian di awal neolitikum. Proses domestikasi hewan dan tumbuhan dinilai menjadi salah satu perkembangan terpenting dalam sejarah, dan salah satu prasyarat meningkatnya peradaban (Diamond dalam Bamualim, 2009:5). Perubahan itu memberi dampak besar terhadap restrukturisasi sosial manusia, terlihat dari pesatnya kemajuan domestikasi hewan dan tumbuhan maupun pengembangan pertanian yang berbasis domestikasi.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia disebutkan bahwa domestikasi adalah proses penjinakan hewan liar dan binatang buas menjadi hewan peliharaan, pembudidayaan tumbuhan menjadi tanaman, dan pembiakan mikroorganisme untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan kegunaannya bagi kehidupan manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses penjinakan yang dilakukan terhadap hewan atau tanaman liar yang ada di alam menjadi hewan atau tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Hewan liar yang ada di alam sangat sulit untuk dimanfaatkan oleh manusia karena perilaku/sifat hewan liar yang buas, maka dari itu hewan-hewan liar yang ada harus dijinakkan terlebih dahulu. Menurut Ekastuti (2012) domestikasi merupakan pengadopsian yang dilakukan manusia terhadap tumbuhan dan hewan dari alam liar ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sesuai dengan pendapat di atas Ensminger (dalam Sulistyoningsih, 2011)  menambahkan bahwa tingkah laku hewan adalah reaksi seluruh organisme pada rangsangan tertentu atau cara bereaksi terhadap lingkungannya. Pengubahan perilaku/sifat merupakan hal yang penting dalam proses domestikasi hewan, karena hewan yang lebih jinak, tenang, serta penurut akan memudahkan manusia dalam memanfaatkan hewan tersebut. 
Pada kenyataannya domestikasi juga merupakan salah satu cara manusia untuk menyelamatkan populasi hewan yang hampir punah, karena kelangsungan hidup peranakan hasil domestikasi lebih terjaga daripada peranakan yang ada di alam liar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zairin (dalam Anggoro, 2013) yang menyatakan bahwa domestikasi merupakan suatu cara pengadopsian hewan dalam suatu populasi yang hampir punah (terancam kelestariannya) dari kehidupan liar (habitat asli) ke dalam lingkungan budidaya. Pelaksanaan domestikasi salah satunya yaitu, untuk mengurangi ketergantungan induk-induk dari alam secara bertahap dalam pelaksanaan budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture) dan digantikan dengan induk-induk produktif hasil domestikasi.
Pelaksanaan domestikasi di alam merupakan hal yang membutuhkan proses bertahap, karena dalam kenyataannya penjinakan hewan tidak langsung terjadi, harus sedikit demi sedikit. Effendi (dalam Anggoro, 2013) menyebutkan bahwa terdapat tiga tahapan domestikasi spesies liar, yaitu: (1) mempertahankan agar tetap bisa bertahan hidup (survive) dalam lingkungan akuakultur (wadah terbatas, lingkungan artifisial, dan terkontrol), (2) menjaga agar tetap bisa tumbuh, dan (3) mengupayakan agar bisa berkembang biak dalam lingkungan terkontrol.

2.1    Definisi Domestikasi Hewan
Hewan yang hidup di alam bebas belum terbiasa dengan kehidupan manusia dan belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya, dari itu maka harus ada penjinakan agar dapat hidup dalam lingkungan budidaya. Menurut Muflikh (dalam Anggoro, 2013) disebutkan bahwa domestikasi merupakan upaya untuk menjinakkan hewan liar yang hidup di alam bebas agar terbiasa pada lingkungan rumah tangga manusia baik berupa pakan maupun habitat. Kayadoe (2008) menambahkan bahwasanya penangkaran merupakan proses domestikasi untuk hewan/satwa yang masih hidup liar.
Berbeda dengan pendapat di atas, Yulfiperius (dalam Saputri, 2016) berpendapat bahwa domestikasi dimaksudkan untuk menjaga hewan liar tetap tumbuh dan berkembang biak dalam lingkungan budidaya, sehingga memperoleh keturunan yang baik secara kualitas dan kuantitas. Serta Augusta (2016) juga menambahkan bahwa domestikasi adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya terjadi kepunahan terhadap populasi/spesies yang terancam keberadaan kelangsungan hidupnya. Jadi agar populasi/spesies tidak punah maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegahnya adalah dengan melakukan domestikasi terhadap satwa- satwa liar yang hidup di alam bebas.
Proses domestikasi yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan terhadap spesies hewan. Belteky dan Price (dalam Sutriyono, 2016) menyebutkan bahwa domestikasi merupakan salah satu cara konservasi yang telah banyak dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu kala dan dalam prosesnya domestikasi telah menyebabkan terjadinya perubahan fenotipe yang mempengaruhi tingkah laku, performa, fisiologi, dan reproduksi.  Perubahan morfologi akan menghasilkan beberapa spesies baru dalam waktu yang relatif singkat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa domestikasi hewan adalah proses penjinakan/pengadopsian hewan liar dari alam bebas ke dalam lingkungan hidup budidaya serta dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan manusia. Domestikasi dapat menyebabkan perubahan perilaku/sifat hewan dari yang dulu liar menjadi lebih penurut dan patuh pada perlakuan lebih lanjut dari manusia.  

2.2    Sejarah Domestikasi Hewan
2.2.1       Sejarah awal terjadinya domestikasi hewan
Sejarah pemanfaatan hewan dan tumbuhan secara budidaya dimulai sekitar 12.000 sampai 14.000 tahun yang lalu, selama revolusi pertanian di awal Neolitikum, melalui domestikasi sebagian besar tanaman pangan dan spesies hewan. Kontrol dari produksi pangan tersebut mengarah kepada perubahan demografi utama, teknologi, dan militer. Proses domestikasi hewan dan tumbuhan dinilai menjadi salah satu perkembangan terpenting dalam sejarah, dan salah satu prasyarat meningkatnya peradaban (Diamond, dalam Bamualim, 2009:5). Setelah diawali domestikasi, penyebaran pertanian meningkat secara cepat pada hampir semua habitat daratan (Diamond dan Bellwood, dalam Bamualim, 2009:5). Ribuan tahun setelah seleksi oleh alam dan manusia, hanyutan genetik, inbreeding, dan crossbreeding berkontribusi terhadap keragaman flora dan fauna yang memungkinkan dilakukannya budidaya hewan dalam berbagai lingkungan dan sistem produksi. 
Keragaman hayati merupakan hal penting untuk semua sistem produksi flora dan fauna. Keragaman hayati menyediakan bahan baku bagi perbaikan breed, dan untuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sebagaimana diperlihatkan dalam studi molekuler belakangan ini, keragaman hayati dari populasi hewan asli dan breed jauh melebihi daripada yang ditemukan dari breed komersialnya. Pengungkapan asal dan distribusi dari keragaman hewan merupakan sentral untuk pemanfaatannya saat ini, dan konservasinya untuk jangka panjang (Hanotte dkk., dalam Bamualim, 2009:5).
2.2.2       Tetua dan asal geografis dari hewan domestikasi
Satu hal yang paling menarik dari wilayah yang saling mendukung antara bidang arkeologi dan genetika adalah dalam mendokumentasikan lokasi hewan domestik (Zeder dkk., dalam Bamualim, 2009:9), di mana arkeologi memandu penelitian genetik, dan ahli genetik memberikan dukungan teori arkeologi yang kontroversial atau mengungkapkan kemungkinan asal geografi baru bagi spesies hewan dan keragamannya. Secara lebih khusus, saat ini diketahui bahwa hampir semua spesies hewan utama merupakan hasil dari proses domestikasi ganda dalam area geografi berbeda dan menyebabkan kejadian awal domestikasi, introgresi genetik antara kerabat liar, dan hewan domestikasinya.
Di sini sebaiknya dicatat bahwasanya kejadian domestikasi tidak selalu terkait dengan kondisi budaya. Beberapa peristiwa domestikasi bebas bisa mewakili pergerakan dari sedikit individu terdomestikasi ke area baru, dengan penandaan genetik yang diperkenalkan oleh penemunya, yang selanjutnya digabungkan melalui pengambilan dari hewan liar lokal (Zeder dkk., dalam Bamualim, 2009:10). Alternatifnya, penanda kuno dari peristiwa domestikasi lokal bisa saja tersembunyi oleh kedatangan hewan dari pusat asal lainnya. Informasi osteometrik dari sisi arkeologi, dan studi DNA hewan purba merupakan alat penting untuk menjawab pertanyaan ini. Domestikasi hewan diperkirakan telah terjadi pada setidaknya 12 area dari dunia. Menariknya, tidak semua pusat domestikasi mempunyai hubungan dekat dengan tanah air dari spesies tanaman kita. Sementara pada beberapa kasus (seperti lokasi Fertile Crescent), pusat domestikasi baik pada tanaman dan hewan saling tumpang tindih, di tempat lain (seperti Benua Afrika) domestikasi tanaman pangan dan hewan telah terjadi secara bebas.
Ketika ketidakpastian masih mengelilingi keberadaan dari sebagian pusat domestikasi untuk sebagian spesies, area geografis berikut merupakan pusat asal hewan yang penting dan utama, terutama keragaman dari spesies hewan, seperti rangkaian Andes di Amerika Selatan (llama, alpaca, marmut); Amerika Tengah (kalkun, entok); timur laut Afrika (sapi, keledai); barat daya Asia termasuk Fertile Crescent (sapi, domba, kambing, babi); daerah lembah Indus (sapi, kambing, ayam, kerbau sungai); Asia Tenggara (ayam, sapi Bali); Cina Timur ( babi, ayam, kerbau rawa); dataran tinggi Himalaya (yak); Asia utara (rusa). Tambahan, bagian selatan dari Peninsula Arab diperkirakan menjadi daerah asal dari unta, Unta Bactrian mungkin berasal dari area yang sekarang menjadi Republik Islam Irak, dan kuda dari padang rumput Eropa-Asia. 
Sementara proses domestikasi terjadi di beberapa tempat, domestikasi juga terjadi pada waktu yang berbeda. Saat yang tepat peristiwa domestikasi, bagaimanapun menjadi tantangan tersendiri. Hewan yang mengalami proses awal domestikasi tidak akan berbeda nyata tampilan morfologi dibanding tetua liarnya, dan waktu berdasarkan marka morfologi tanpa keraguan akan mengestimasi umur domestikasi lebih awal. (Dobney dan Larson, dalam Bamualim, 2009: 11). Proses penentuan molekuler, ketika terjadi perubahan morfologi secara bebas, secara tipikal ditandai oleh angka galat yang besar dan sering tergantung pada ketidakpastian pembacaan kalibrasi. Pendekatan yang melibatkan teknik pengujian demografis sebagai identifikasi upaya awal pada manajemen hewan oleh manusia, dan proses molekuler dengan menggunakan informasi DNA kuno, menjadikan jalan baru dalam menentukan saat domestikasi (Zeder dkk., dalam Bamualim, 2009:11).
Informasi arkeologi dan genetik baru secara konstan memperbaiki pemahaman kita terhadap asal spesies hewan. Anjing adalah hewan pertama yang didomestikasi, mungkin terjadi setidaknya 14.000 tahun lalu yang sering digunakan untuk perburuan dan sebagai anjing penjaga. Masih tidak jelas di mana awal domestikasi terjadi, tapi beberapa garis induk ditemukan pada anjing modern yang menunjukkan introgresi ganda dari tetua liarnya, yaitu serigala abu-abu (Canis lupus). Anjing domestik nampaknya tidak didomestikasi secara bebas pada saat ini. Garis mitokondria yang sejauh ini teridentifikasi di Amerika ternyata berasal dari Eropa (Wayne dkk., dalam Bamualim, 2009:11).
Leluhur kucing rumah merupakan sejenis kucing liar yang kerabat dekatnya masih berkeliaran di gurun terpencil Timur Tengah saat ini. Perubahan kucing dari hewan pemangsa ganas menjadi binatang peliharaan lucu diduga terjadi sekitar 10.000 tahun lalu berdasarkan analisis genetis. Hal tersebut terjadi ketika manusia mulai bercocok tanam. Artinya, kucing pertama yang bersahabat dengan manusia kemungkinan besar berperan sebagai pemburu tikus yang sering mengganggu biji-bijian yang disimpan manusia. Hubungan genetis antara berbagai jenis kucing masih sedikit yang diketahui. Salah satu penyebabnya adalah kucing rumahan sering kali kawin dengan kucing liar sehingga sulit bagi peneliti untuk membedakan antara kucing campuran rumahan dan liar dengan kucing yang benar-benar liar (Suwed, 2011:7)
Itik menjadi hidangan yang sudah populer di kalangan bangsawan dan petinggi kerajaan Cina sejak 4.000 tahun yang lalu. Masyarakat Cina di masa itu sudah melakukan penjinakan atau domestikasi itik untuk diambil manfaatnya berupa telur, daging, dan bulu.  Pada zaman Dinasti Ming, sudah dikenal itik peking yang merupakan ras unggul itik pedaging dengan karakter genetik stabil. Tidak hanya tenar sebagai sumber protein hewani, sejumlah catatan sejarah menyatakan bahwa pada masa itu itik sudah diberdayakan sebagai pembasmi hama tanaman padi di sawah penduduk. Relief dan lukisan di sejumlah peninggalan bersejarah Mesir sekitar 3.000 tahun yang lalu menunjukkan perburuan terhadap itik liar yang bermigrasi di sekitar delta Sungai Nil. Setelah ditangkap, itik liar tersebut dipelihara di suatu lahan khusus dan diberi pakan hingga saatnya dipotong. Daging itik tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk sepanjang tahun. Tahun 116-27 SM, bangsa Romawi telah menyebarluaskan cara domestikasi itik liar di kalangan masyarakat (Tim Penulis Agliflo, 2012:9).
Kambing telah didomestikasi 10.000 tahun yang lalu di Pegunungan Zagros dari Fertile Crescent (Zeder dan Hesse, dalam Bamualim, 2009:11). Bezoar (Capra aegragus) kemungkinan merupakan salah satu dari tetua liar hewan kambing domestik, tapi ada kemungkinan bahwa spesies lain seperti C. falconeri, berkontribusi terhadap pool genetik dari spesies domestik. Saat ini, lima garis utama mitokondria induk diidentifikasi pada kambing domestik (Luikart dkk.; Sultana dkk.; Joshi dkk., dalam Bamualim, 2009:11). Salah satu garis ini mempunyai jumlah besar dan ada di seluruh dunia, sedangkan yang kedua berasal dari kontemporer. Keadaan ini mungkin merefleksikan proses utama domestikasi kambing (Caprine). Pada wilayah Fertile Crescent, di mana informasi arkeologi menyarankan dua sampai tiga area domestikasi (Pegunungan Zagros, Pegunungan Taurus, lembah Jordan). Garis-garis yang lain lebih terbatas penyebarannya, dan mungkin berhubungan dengan domestikasi tambahan atau introgresi di daerah lain termasuk di lembah Indus (Fernández dkk., dalam Bamualim, 2009:11).
Domba mungkin juga termasuk hewan yang pertama di domestikasi di wilayah Fertile Cresent, kira-kira 8000-9000 tahun yang lalu. Informasi arkeologi menyarankan dua area domestikasi domba Turki yang terpisah, yaitu bagian atas lembah Efrat di Timur Turki dan Anatolia tengah (Peters dkk., dalam Bamualim, 2009:11). Tiga spesies domba liar (Urial, Ovis vignel; Argali, Oammon; dan Eurasia mouflon; Omosinon/orientalis) telah diusulkan sebagai tetua domba domestikasi (domba yang sudah didomestikasi) (Ryder, dalam Bamualim, 2009: 11) atau paling tidak sudah di introgresi dengan breed domba lokal, akan tetapi hasil penelitian genetik menunjukkan tidak ada kontribusi dari spesies Urial dan Argali (Hiendleder dkk., dalam Bamualim, 2009:11). Hal ini mendukung pendapat bahwa Mouflon Asia (O. Orientalis), yang dijumpai di daerah luas membentang dari Turki sampai paling tidak sejauh Republik Islam Iran, adalah satu-satunya keturunan dari domba domestikasi. Mouflon Eropa sekarang ini dianggap sebagai tetua dari domba feral. Empat garis DNA mitokondria induk telah dicatat dari domba domestikasi (Hiendleder dkk.; Pedrosa dkk.; Tapio dkk. dalam Bamualim, 2009: 11), salah satu atau dua dari padanya berhubungan  dengan kejadian domestikasi yang jelas, dan yang lainnya berhubungan dengan introgresi liar berikutnya. Saat ini, tidak ada hubungan jelas yang dapat diuraikan antara garis DNA mitokondria ini dan variasi fenotipe domba (seperti domba ekor gemuk, domba ekor tipis atau domba yang gemuk bagian belakang). 
Tetua babi domestikasi adalah babi liar (Sus scrofa). Penemuan binatang purbakala menunjukkan bahwa babi didomestikasi sekitar 9000 tahun yang lalu di sekitar Timur Tengah. Materi dari beberapa tempat di timur Anatolia menunjukkan adanya perubahan secara bertahap dari morfologi babi dan profil demografi yang meliputi beberapa ribu tahun, memberikan bukti proses domestikasi dan konsekuensi morfologinya. Bukti arkeologi dan genetik menunjukkan pusat domestikasi utama yang kedua adalah di Timur Asia (China) (Guiffra dkk., dalam Bamualim, 2009:12). Sedikitnya 16 sub spesies berbeda dari babi liar sudah dideskripsikan di Eurasia dan Afrika Utara. Mungkin tidak mengherankan, bahwa survei keragaman DNA mitokondria antara babi domestikasi di Eurasia dan babi liar menunjukkan suatu gambaran kompleks dari domestikasi babi, dengan sedikitnya lima atau enam pusat-pusat berbeda sepanjang kisaran geografi spesies liar (Larson dkk., dalam Bamualim, 2009:12). 
Domestikasi sapi secara khusus telah didokumentasikan secara baik, dengan pembuktian jelas dari tiga awal kejadian domestikasi adalah tiga Aurochs (Bos primigenius) sub spesies. Bos primigenius primigenius, yang didomestikasi di wilayah Fertile Cresent sekitar 8000 tahun yang lalu, dan B. p. opisthonomous, mungkin di domestikasi paling awal 9000 tahun lalu di bagian Timur Laut daratan Afrika (Wendorf dan Schild, dalam Bamualim, 2009:12). Sapi-sapi tersebut adalah tetua dari Humpless (sapi tidak berpunuk) dari sapi B. Taurus di sekitar Timur Tengah dan Afrika. Sapi Zebu yang berpunuk (Bos indicus), diyakini didomestikasi lebih belakangan, sekitar 7000-8000 tahun yang lalu, di daerah lembah Indus zaman modern Pakistan (Loftus dkk.; Bradley dkk.; Bradley dan Magee, dalam Bamualim, 2009:12). Saat ini, empat pusat domestikasi diperkirakan berada di Asia Timur (Mannen dkk., dalam Bamualim, 2009:12), tetapi tidak jelas apakah ini terjadi secara bebas atau mewakili introgresi aurochs lokal pada sapi yang berasal dari Timur Tengah dan sekitarnya. 
Tetua dari kerbau air domestikasi (Bubalus bubalus) secara tidak meragukan adalah kerbau liar di Asia. Ditemukan dua tipe utama kerbau, yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai atas dasar perbedaan fenotipe, kariotipe, dan hasil kerja mitokondria DNA (Tanaka dkk., dalam Bamualim, 2009:12); kerbau sungai diketemukan di sub kontinen India, Timur Tengah dan sekitarnya, dan Eropa Timur; sedangkan kerbau lumpur diketemukan di China dan negara-negara di Asia tenggara. Kedua tipe kerbau ini merupakan hasil hibridisasi di bagian timur laut India. Kerbau tersebut mungkin didomestikasi terpisah, dengan kemungkinan pusat domestikasi kerbau sungai terjadi di lembah Indus dan atau lembah Efrat dan lembah Tigris pada 5000 tahun yang lalu; sedangkan kerbau lumpur didomestikasi di China sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan munculnya budidaya padi.
Masih terjadi perdebatan kapan dan di mana kuda didomestikasi (Equus caballus). Tetua dari kuda domestikasi sudah punah. Dua spesies yang diduga sebagai tetua kuda liar adalah Tarpan (E. Ferus) dan kuda Przewalski (E. Przewalski). Kuda Przewalski meskipun memiliki kekerabatan sangat dekat dengan tetua liar, spesies domestikasi mungkin bukan merupakan keturunannya langsung (Olsen dkk.; Vilà dkk., dalam Bamualim, 2009:12). Sangat sukar untuk mengakses apakah arkeologi kuda yang ada merupakan kuda domestikasi atau liar. Pembuktian secara mendasar dari Kazakhtan utara (budaya Botai) mendukung pandangan bahwa kuda didomestikasi di daerah sini selama zaman perunggu sekitar 3700-3100 sebelum masehi (Olsen, dalam Bamualim, 2009:12). Studi molekuler terkini menunjukkan bahwa keragaman kuda dari sudut induk (maternal) kemungkinan berasal dari beberapa populasi pada daerah geografi berbeda. Namun data tersebut belum dapat disimpulkan seperti apakah merupakan domestikasi tunggal diikuti introgresi, atau peristiwa domestikasi bebas secara ganda (Vilà dkk.; Jansen dkk., dalam Bamualim, 2009:12).
Sebaliknya di pihak lain, domestikasi keledai (Equus asinus) kelihatannya melalui proses yang lebih sederhana. Studi pada mitokondria DNA mengkonfirmasi keledai domestikasi berasal dari Afrika, dan menyanggah kemungkinan keturunan dari kuda poni liar Asia (Beja, Pereira dkk., dalam Bamualim, 2009:12). Dua garis mitokondria menyarankan dua peristiwa domestikasi. Satu garis berkaitan erat dengan keledai Nubian liar (E. Asinus africanus) yang sekarang masih ditemui hidup liar di timur laut Sudan, dekat Laut Merah. Garis lainnya menunjukkan sebagian kesamaan dengan keledai liar Somali (E. Asinus somaliensis). Oleh karena itu, keledai tersebut juga bisa asli Afrika, walaupun domestikasi memungkinkan terjadi di area yang bertetangga di Semenanjung Arab atau wilayah Fertile Crescent. Bukti arkeologi dari Mesir mendukung pusat domestikasi keledai di Afrika dan mengusulkan peristiwa domestikasi sekitar 6000-6500 tahun lalu (Clutton, Brock, dalam Bamualim, 2009: 13).
Domestikasi yak (Poephagus grunniens) hanya ada di daerah Asia Tengah dan beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dingin dan dataran tinggi. Yak yang digembalakan tersebar luas di dataran tinggi Asia Tengah, dan pengenalan yak yang digembalakan merupakan hal yang penting bagi keberadaannya secara berkelanjutan pada wilayah lebih tinggi di dataran Himalaya. Ini bisa dikaitkan dengan berkembangnya populasi masyarakat di daerah Tibet-Burma. Saat ini, sebagian yak liar (P. mutus) masih ditemukan di dataran tinggi Qianghai-Tibet, tapi mereka mungkin telah terintrogresi secara intensif dengan yak domestikasi feral. Tiga garis DNA mitokondria telah diidentifikasi. Bagaimanapun distribusi geografis yang sama keragaman mitokondria DNA menunjukkan satu peristiwa domestikasi tunggal pada wilayah timur dataran tinggi Qianghai-Tibet (Qi; Guo dkk., dalam Bamualim, 2009:13). Penemuan molekuler juga menunjukkan bahwa penyebaran yak domestik mengikuti dua garis migrasi terpisah dari pusat domestikasi mereka: yak mencapai "Pamir Knot" dengan mengikuti sebuah garis menuju barat melalui Pegunungan Himalaya dan Kunlun; dan mencapai Mongolia Selatan, apa yang dinyatakan sebagai federasi Rusia, mengikuti garis menuju utara melalui Mongolian South Gobi dan Pegunungan Gobi Altai (Qi dkk., dalam Bamualim, 2009:13).
Seperti halnya pada domestikasi yak, domestikasi rusa (Rangifer tarandus) memungkinkan masyarakat penggembala mendiami habitat yang pada dasarnya tidak sesuai untuk pemeliharaan hewan. Sangat sedikit diketahui tentang domestikasi rusa. Rusa liar mungkin merupakan spesies mamalia besar terakhir yang didomestikasi. Peristiwa arkeologi tertua dari domestikasi rusa ditemukan di pegunungan Altai, Siberia, dan sudah ditempati sekitar 2500 tahun yang lalu, hal ini menunjukkan bahwa rusa sudah didomestikasi pada waktu tersebut (Skjenneberg, dalam Bamualim, 2009:13). Tidak terdapat informasi yang bisa dipercaya bagaimana domestikasi rusa mencapai Eropa. Ini mungkin berkembang terpisah di Scandinavia, atau mungkin diadopsi oleh orang Saami melalui hubungan dengan masyarakat pastoral Eurasia utara. Perhewanan rusa dipercaya dikembangkan oleh orang Saami sekitar setelah 1600 setelah masehi. Rusa liar dikenal sebagai caribou di Amerika Utara; yang dipercaya tidak pernah didomestikasi di benua ini (Clutton, Brock, dalam Bamualim, 2009:13). 
Domestikasi unta Bactrian (Camelus bactrianus) mungkin terjadi di wilayah yang sekarang bernama Republik Islam Iran/Turkmenistan, atau lebih jauh ke timur, di selatan Kazakhstan, barat laut Mongolia atau selatan China (Bulliet; Peters dan Von den Driesch, dalam Bamualim, 2009:13). Peristiwa domestikasi paling awal dari unta Bactrian di daerah Sahri-Sokta di bagian tengah Republik Islam Iran, di mana diketemukan tulang unta, kotoran, dan tenunan yang terjadi sekitar 2600 sebelum masehi (Compagnoni dan Tosi, dalam Bamualim, 2009:13). Studi genetik saat ini menunjukkan populasi unta liar (C. ferus) dari padang gurun Gobi, yang sudah berhasil dihibridisasi dengan spesies domestik, mungkin tidak secara langsung merupakan tetua induk dari unta domestik atau feral (Jianlin, dkk., dalam Bamualim, 2009:13). Tetua liar unta pacuan berpunuk satu/dromedary (C. dromedarius) saat ini sudah punah. Domestikasi spesies tersebut dipercaya sudah dimulai sekitar 5000 tahun lalu ini bagian tenggara Semenanjung Arab.
Asal usul jenis unta Amerika Selatan saat ini sudah diketahui, yaitu guanaco (Lama guanicoe) dan vicuna (Vicugna vicugna) yang merupakan tetua dari llama yang didomestikasi (Lama glama) dan alpaca (Vicugna pacos) (Kadwell dkk., 2001). Berdasarkan Peristiwa Arkeologi, Andes Tengah di Peru merupakan asal usul alpaca, pada 6000-7000 tahun yang lalu. Llama kemungkinan didomestikasi pada periode yang sama di Andes di sekitar Danau Titicaca. Introgresi skala besar antara dua domestikasi spesies tersebut telah terungkap (Wheeler dkk., dalam Bamualim, 2009:14), suatu proses hibridisasi yang berlangsung mungkin dimulai dengan penaklukan Spanyol yang menghancurkan struktur perkawinan tradisional dan manajemen dari dua spesies tersebut.
Tetua sapi Bali adalah Banteng (Bos javanicus) di mana tiga sub spesies sudah diketahui terancam punah. Domestikasi spesies ini pada kenyataannya tidak terjadi di pulau Bali, karena di situ tidak ada bukti kejadian adanya tetua liarnya. Spesies ini mungkin didomestikasi di Jawa dan atau di semenanjung Indo-China. Introgresi B. taurus dan B. indicus ditemukan pada sapi Bali dan latar belakang genetika sapi Bali sudah disimpulkan pada beberapa breed sapi di Asia Tenggara, hal ini menunjukkan bahwa suatu ketika domestikasi satu spesies mempunyai penyebaran yang lebih luas dibanding keadaan sekarang (Felius, dalam Bamualim, 2009:14). 
Tetua dari mithun (B. frontalis) adalah galur (B. gaurus). Seperti kejadian pada sapi Bali, pusat domestikasi spesies ini tidak diketahui. Penggalian arkeologi di bagian timur laut Thailand (Non Nok Tha) menyatakan bahwa dua spesies ini mungkin telah didomestikasi paling tidak 7000 tahun lalu (Higham dalam Bamualim, 2009:14).
Domestikasi ayam (Gallus domestikus) adalah turunan dari ayam hutan merah liar (Gallus gallus), dengan lima kemungkinan progeni sub spesiesnya. Di samping studi molekuler sebelumnya menyatakan bahwa asal domestikasi tunggal di Asia Tenggara (Thailand) (Fumihito dkk., dalam Bamualim, 2009:14), minimal ada enam garis genetik induk telah diidentifikasi (Liu dkk., dalam Bamualim, 2009:14), hal ini menunjukkan lebih dari satu pusat domestikasi. Informasi arkeologi menunjukkan pusat dari domestikasi ayam berada di sekitar lembah Indus 5000 tahun yang lalu, dan di wilayah lain Cina Timur setidaknya mungkin 7500-8000 tahun lalu (West dan Zhou, dalam Bamualim, 2009:14).
2.2.3        Penyebaran hewan-hewan yang didomestikasi
Jika proses domestikasi menjadi peristiwa awal utama dalam perkembangan keragaman hewan saat ini, maka penyebaran dan migrasi selanjutnya dari spesies yang terdomestikasi seluruh lima wilayah akan menjadi penting. Proses ini berperan besar dalam memunculkan distribusi geografi keragaman hewan saat ini. Faktor utama akar penyebaran awal dari spesies hewan adalah konsekuensi dari ekspansi pertanian, perdagangan, dan penaklukan militer. Mekanisme yang pasti tentang bagaimana ekspansi pertanian terjadi, masih menjadi perdebatan. Prosesnya mungkin bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya (Diamond dan Bellwood, dalam Bamualim, 2009:14). Yang pasti melibatkan dua hal: yakni perpindahan populasi manusia dan pertukaran budaya antara masyarakat seperti digambarkan oleh adopsi pertanian oleh masyarakat pemburu dan perkumpulan sosial.
Contoh penting dari ekspansi pertanian misalnya pada zaman Neolitik, yang membawa hewan sapi, domba, dan kambing ke Eropa, dan mungkin mendorong terjadinya domestikasi lokal babi liar. Domestikasi hewan ke Eropa mengikuti dua rute utama yang berbeda-Danubian dan Mediterania (Bogucki; Cymbron dkk., dalam Bamualim, 2009:14). Ekspansi Bantu yang dimulai sekitar 2000 tahun sebelum masehi adalah menjadi peristiwa utama pada sejarah Afrika, dan mungkin bertanggung jawab pada adopsi lahan penggembalaan (sapi, domba, dan kambing) oleh masyarakat Khoisan di daerah Afrika Selatan sekitar 2000 tahun yang lalu (Hanotte dkk., dalam Bamualim, 2009:15). Asal mula dari babi dan ayam asli benua Afrika masih tidak terdokumentasikan.
Kolonisasi bangsa Eropa di Amerika membawa sapi, domba, kambing, babi, kuda, dan ayam pada dunia baru. Pada kasus sapi terdapat bukti genetika untuk beberapa tetua Afrika (Liron dkk., dalam Bamualim, 2009:15), yang mungkin menjadi legalitas dari perdagangan budak antara dua benua di Asia, kedatangan hewan domestikasi di kepulauan Jepang mungkin mengikuti perkembangan petani-petani asal Korea sekitar 400 tahun sebelum masehi, tetapi juga terdapat pengaruh kuno dari area geografi lainnya. Di Pasifik babi dan ayam menyebar sepanjang Polynesia barat sekitar 900-700 tahun sebelum masehi, dan belakangan ekspansi Polynesia membawa spesies ini sampai ke Rapa Nui (Pulau bagian Timur) pada tahun 900 setelah masehi.  
Di samping migrasi manusia, jaringan perdagangan kuno di daratan memegang peran penting pada penyebaran spesies hewan. Domestikasi hewan membuat perdagangan besar di daratan antara para penduduk, dan sering kali hewan dianggap sebagai produk yang diperdagangkan. Spesies hewan utama digunakan sebagai hewan transport pada zaman tua adalah keledai, kuda, unta dromedaris dan Bactrian, sedangkan di Amerika Selatan adalah llama. Dipercaya bahwa domestikasi kuda menyebabkan ekspansi militer suku Nomadi di Eurasia dan dilanjutkan dengan penyebaran spesies hewan ke seluruh dunia tua. Pada keadaan tertentu unta Bactrian juga digunakan dalam peperangan (Clutton, Brock, dalam Bamualim, 2009:15) dan dromedaris berperan penting pada ekspansi kebudayaan Arab.
Ada bukti yang semakin menguat tentang pentingnya rute perdagangan laut di zaman kuno dalam penyebaran hewan. Sebagai contoh, studi molekuler genetik saat ini menunjukkan bahwa hewan zebu dikenalkan ke Afrika melalui wilayah Samudera India dibandingkan melalui daratan teluk Suez atau semenanjung Sinai (Hanotte dkk.; Freeman dkk., dalam Bamualim, 2009:16). Demikian juga informasi arkeologi dan genetika menyatakan bahwa penyebaran penggembala di lembah Mediterania tidak hanya mengikuti rute perbatasan pantai tetapi juga rute laut (Zilhão; Beja-Pereira dkk., dalam Bamualim, 2009:15).
Hilangnya keragaman hayati diduga mengikuti pola penyebaran dan pergerakan populasi hewan dari pusat asal. Akan tetapi, marka molekuler mengungkapkan gambaran yang lebih kompleks dengan beberapa pergerakan yang menghasilkan peningkatan keragaman yang mengikuti pencampuran antara populasi yang berasal dari pusat-pusat domestikasi yang berbeda. Lebih jauh, studi molekuler secara terperinci menunjukkan tidak hanya adanya persilangan di antara hewan yang umum, tetapi juga terjadi introgresi genetik dari populasi binatang liar setelah peristiwa domestikasi awal. Ketika introgresi terjadi di luar area geografis spesies dan setelah awal penyebarannya, maka introgresi liar ini akan menghasilkan populasi genetik hewan yang terlokalisir dengan latar belakang genetik yang unik. Sebagai contoh, introgresi lokal pada Aurochs di Eropa (Gotherstrom dkk.; Beja-Pereira dkk., dalam Bamualim, 2009:16) dan kemungkinan juga pada sapi Asia (Mannen dkk., dalam Bamualim, 2009:16).
Pengungkapan pola geografi dan sejarah penyebaran hewan merupakan hal penting untuk mengidentifikasi area geografi dengan tingkat keragaman yang tinggi, yang merupakan area prioritas potensial untuk upaya konservasi. Hal tersebut memerlukan pemetaan ekstensif dari keragaman genetik. Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian yang sudah dilakukan di bidang ini. Akan tetapi penelitian terkini pada sapi yang mencakup wilayah Eropa, Afrika dan Asia Barat, menunjukkan tingkat keragaman tertinggi dan dijumpai di wilayah yang merupakan persimpangan dari pencampuran antar populasi dari pusat domestikasi yang berbeda (Freeman dkk., dalam Bamualim, 2009:17). Suatu survei ekstensif terhadap keragaman kambing di Eropa, Timur Tengah dan sekitarnya secara jelas menunjukkan pemisahan geografi dari keragaman kambing dengan satu proporsi besar keragaman genetik antara breed kambing sebagai dijelaskan oleh asal geografi mereka (Cañón dkk., dalam Bamualim, 2009:17).
Saat ini, pergerakan lokal maupun regional, dari genotipe hewan mempercepat hasil pengembangan dan pemasaran breed dengan produksi tinggi, teknologi pemuliaan baru, dan meningkatnya permintaan pada produk hewan. Penyebaran modern ini hanya terbatas pada beberapa breed dan hampir secara eksklusif melibatkan perpindahan hewan dari negara maju ke negara berkembang, menghadirkan suatu ancaman besar terhadap konservasi dan penggunaan keragaman hayati. 

2.3    Mekanisme Domestikasi Hewan

Sangat sedikit spesies hewan yang berhasil didomestikasi. Domestikasi merupakan proses yang kompleks dan bertahap, yang mengubah kelakuan dan karakteristik morfologi hewan dari tetuanya. Kondisi dan tekanan yang menyebabkan domestikasi hewan masih tidak jelas, dan mungkin bervariasi dari satu area geografis ke area lain dan dari satu spesies ke spesies lain. Akar dari domestikasi hewan mungkin berkaitan dengan tendensi perburuan dari kelompok pemburu (kemungkinan bagian dari manusia zaman dulu) untuk mencoba menjinakkan atau memelihara hewan liar (Diamond, dalam Bamualim, 2009:6).
Bagaimanapun, proses domestikasi mulai berlangsung di akhir Pleistosen. Perubahan iklim pada waktu itu, perubahan iklim yang semakin tidak bisa diprediksi, misalnya semakin hangat dan/atau berubah cepat di sebagian tempat, mengarah kepada pembatasan penyebaran populasi manusia. Perkembangan ini mendorong pengambilan hasil pertanian, dan mempengaruhi distribusi dan kepadatan spesies liar yang diburu untuk pangan. Pada kondisi ini, penggerak utama domestikasi hewan mungkin berdasarkan pada ketersediaan makanan yang disukai dengan potensi beberapa spesies domestikasi untuk mendukung sistem pertanian tanaman pangan (misalnya membajak lahan menggunakan sapi jantan atau kerbau), atau sebagai alat transportasi (llama, unta, kuda, keledai, dan sapi). 
Dari 148 spesies non-karnivora dunia (spesies dengan berat lebih dari 45 kg) hanya 15 spesies yang telah didomestikasi. Sebanyak 13 spesies tersebut berasal dari Eropa dan Asia, sedangkan dua spesies lainnya berasal dari Amerika Latin. Kemudian hanya enam spesies yang menyebar luas di semua benua (sapi, domba, kambing, babi, kuda, dan keledai), sementara sembilan spesies lainnya (unta, unta Bactrian, llama, alpacas, rusa, kerbau air, yak, sapi Bali, dan mithun) menjadi penting di beberapa daerah terbatas (diadaptasi dari Diamond, dalam Bamualim, 2009:6). Proporsi tersebut bahkan lebih rendah pada kasus unggas, dengan hanya 10 spesies (ayam, bebek domestik, entok, angsa domestik, ayam mutiara, burung unta, burung merpati, burung puyuh, dan kalkun) yang terdomestikasi saat ini di luar dari sekitar 10.000 spesies unggas (daftar tersebut tidak termasuk beberapa burung yang didomestikasi untuk tujuan hiasan atau rekreasi). 
Tetua dan kerabat liar dari sebagian besar spesies hewan telah punah atau terancam punah sebagai hasil perburuan, perubahan habitatnya, dan pada kasus ayam hutan merah liar, akibat dari intensifnya perkembangbiakan silang dengan ayam domestik, kecuali babi hutan (Sus scrofa). Pada spesies-spesies ini, merupakan satu-satunya cadangan keragaman hayati dari tetua yang saat ini sebagian besar sudah hilang atau punah. Ini merupakan perbedaan utama dari spesies tanaman, di mana tetua liar biasa ditemukan di pusat asalnya dan mewakili sumber variasi penting dan sifat-sifat adaptasi untuk program pemuliaan selanjutnya. Sejumlah kecil dari spesies hewan yang telah berhasil didomestikasi bisa dijelaskan melalui karakteristik-karakteristik yang diperlukan atau menguntungkan untuk domestikasi, yang sangat jarang ditemukan dalam satu spesies.
Semua spesies hewan utama didomestikasi beberapa ribu tahun yang lalu. Di sini tidak memungkinkan mendomestikasi lebih lanjut spesies mamalia besar dalam waktu dekat, seperti yang ditunjukkan dari kegagalan, atau paling tidak hanya oleh keberhasilan yang rendah, dari percobaan di abad ke-20 untuk mendomestikasi spesies baru (seperti. orgyx, zebra, kerbau Afrika, dan bermacam spesies rusa). Bagaimana pun pada tahun-tahun mendatang mungkin akan bisa dilihat perkembangan lebih jauh dari perkawinan terkontrol dari spesies kecil dan spesies non konvensional (sering disebut aneka hewan) untuk konsumsi manusia, yang bisa menjadi lebih penting, paling tidak pada tingkat lokal atau regional (BOSTID; Hanotte dan Mensah, dalam Bamualim, 2009:8).
Karakteristik penting atau esensial untuk keberhasilan domestikasi mencakup ciri tingkah laku seperti kurangnya agresif terhadap manusia; insting hidup berkelompok yang kuat, termasuk ”mengikuti pemimpin” yang dominan secara hierarki sehingga memungkinkan adanya pengganti manusia sebagai pemimpin pengganti; cenderung tidak panik saat terganggu; mampu berkembang biak dalam lingkungan terkontrol; ciri fisiologis seperti pakan yang dapat dengan mudah disediakan oleh manusia (domestikasi lebih banyak dilakukan terhadap hewan herbivora dibanding karnivora); laju pertumbuhan yang cepat; interval kelahiran yang relatif singkat dan jumlah kelahiran anak yang banyak (Diamond, dalam Bamualim, 2009:8).
Spesies tetua dari kebanyakan spesies hewan, sekarang sudah dapat diidentifikasi. Diketahui juga bahwa banyak populasi hewan domestik saat ini dan breed berkembang biak yang berasal lebih dari satu tetua liar, dan dalam beberapa kasus terdapat pencampuran genetik atau introgresi di antara spesies yang tidak di hibridisasi secara normal pada kondisi liar. Pencampuran dan hibridisasi ini mungkin terjadi setelah domestikasi awal. Mereka sering kali terkait dengan migrasi manusia, perdagangan atau secara sederhana hasil dari kebutuhan masyarakat pertanian pada fenotipe hewan baru. Sebagai contoh mencakup pencampuran antara sapi taurus dan zebu, adanya latar belakang genetik sapi seperti dalam yak dan sapi Bali, hibridisasi babi Asia dengan breed babi Eropa, perkawinan silang antara unta dan unta pacu Bactrian, dan pencampuran intensif antara dua jenis unta lokal America Selatan (llama dan alpaca) (Kadwell dkk., dalam Bamualim, 2009:9).

2.4    Pengaruh Domestikasi pada Hewan

Mutasi, perkawinan terseleksi, dan adaptasi membentuk keragaman populasi hewan. Proses domestikasi menghasilkan beberapa perubahan, beberapa di antaranya mungkin akan berlanjut. Kepentingan khusus menyangkut perubahan morfologi. Hewan domestik umumnya lebih kecil dibanding dengan tetua liar mereka (terkecuali pada ayam). Hewan-hewan yang lebih kecil lebih mudah diurus dan ditangani, mereka mencapai pubertas lebih awal dan dalam kelompok besar yang dapat dipelihara lebih mudah (Hall, dalam Bamualim, 2009:17). Sapi Afrika Barat yang kecil, seperti domba dan kambing kerdil adalah contoh yang ekstrim dari penurunan ukuran, mungkin merupakan hasil pemepatan genetik mengikuti adaptasi terhadap lingkungan tropis basah dan tantangan penyakit parasit. Pada beberapa kasus, seleksi yang dilakukan manusia secara perlahan menghasilkan perbedaan ukuran yang ekstrim sebagai diilustrasikan ukuran kecil pada kuda pony Shetland dan ukuran besar pada kuda Shire (Clutton, Brock, dalam Bamualim, 2009:17). 
Konformasi tubuh dari hewan domestik bisa juga berbeda dari tetua liarnya, adaptasi sebagai contoh untuk memenuhi permintaan produk daging (contoh sapi potong Eropa), atau untuk mengatasi tekanan lingkungan baru (contoh kambing Sahelian). Seleksi untuk perototan sering menghasilkan suatu perkembangan perototan lebih besar dari seperempat bagian belakang dibanding pundak (Hall, dalam Bamualim, 2009:17). Contoh seleksi ekstrim untuk perototan adalah sifat berotot ganda yang diamati pada beberapa breed sapi potong Eropa, dan pada beberapa breed domba dan babi. Pada sapi sifat-sifat hasil dari mutasi gen tunggal-myostatin gen (Grobet dkk., dalam Bamualim, 2009:17). Pada domba ini melibatkan gen callipyge (Cockett dkk., dalam Bamualim, 2009:17).
Pola dari deposit lemak mungkin juga menunjukkan perubahan mengikuti proses domestikasi. Sebagai contoh menurunnya sifat predator akan mendorong deposit lemak pada unggas domestik. Pada mamalia yang didomestikasi punuk pada zebu dan ekor pada domba ekor gemuk merupakan contoh yang mencolok dari seleksi pada deposit lemak. Masalah deposit lemak mungkin agak kuno dan berlebihan, karena lemak pada ekor domba sudah umum di Asia Barat sejak 3000 tahun sebelum masehi dan punuk pada sapi yang dilukiskan sebagai penutup silinder dari kebudayaan kuno Mohenjo Daro dan Harappa di lembah Indus sekitar 2500-1500 sebelum masehi (Clutton, Brock, dalam Bamualim, 2009:17).
Variasi yang besar ditemukan pada wol dan penutup bulu hewan pada kebanyakan spesies hewan domestikasi. Sebagai contoh, breed domba di daerah Alpine secara khusus mempunyai penutup bulu yang tebal, sementara tersebut memerlukan pemetaan ekstensif dari keragaman genetik. Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian yang sudah dilakukan di bidang ini. Akan tetapi penelitian terkini pada sapi yang mencakup wilayah Eropa, Afrika, dan Asia Barat, menunjukkan tingkat keragaman tertinggi dan dijumpai di wilayah yang merupakan persimpangan dari pencampuran antar populasi dari pusat domestikasi yang berbeda (Freeman dkk., dalam Bamualim, 2009:18). Suatu survei ekstensif terhadap keragaman kambing di Eropa, Timur Tengah, dan sekitarnya secara jelas menunjukkan pemisahan geografi dari keragaman kambing dengan satu proporsi besar keragaman genetik antara breed kambing sebagai dijelaskan oleh asal geografi mereka (Cañón dkk., dalam Bamualim, 2009:18).

2.5    Kelebihan dan Kekurangan Domestikasi Hewan
Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses penjinakan yang dilakukan terhadap hewan liar. Adapun keuntungan dari domestikasi hewan dan tumbuhan ini di antaranya:
  • Apabila jenis tanaman akan lebih tahan terhadap hama, herbisida, hingga serangan penyakit tanaman sehingga akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan hasil panen.
  • Beberapa mamalia seperti tikus dan kelinci dapat digunakan dalam penelitian.
  • Dapat membantu menyembuhkan berbagai penyakit manusia. Virus yang dimodifikasi akan digunakan dalam terapi gen manusia sehingga manusia dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri.
  • Menciptakan berbagai obat penyakit. Insulin sintetis adalah salah satu hasil rekayasa genetika yang dapat digunakan dalam merawat pasien diabetes.
  • Tanaman dapat mengurangi polusi logam berat dalam tanah.
  • Menciptakan berbagai varietas spesies baru.
Selain keuntungan dari domestikasi hewan dan tumbuhan, adapun kekurangan dari domestikasi hewan dan tumbuhan, di antaranya:
  • Terganggunya keseimbangan ekosistem karena akan adanya dominasi.
  • Munculnya berbagai gangguan kesehatan seperti alergi dan penyakit yang belum diketahui lainnya.
  • Penurunan efektivitas dari pestisida karena tanaman akan menstimulus gen-gen hama baru yang memiliki daya tahan yang lebih kuat.
  • Dapat disalahgunakan sebagai senjata biologis yang akan menimbulkan dampak yang sangat fatal.
  • Tanaman ataupun hewan akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia bila dikonsumsi.
  • Tanaman jika tidak dibersihkan secara maksimal akan dikhawatirkan dapat membunuh jasad renik dalam tanah yang bekas menanam tanaman tersebut.
Efek negatif lainnya dari domestikasi pada tingkat spesies, yaitu menghasilkan invasive spesies. Salah satu contohnya adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Ikan ini sangat digemari di Indonesia untuk dikembang-biakkan, tapi Ikan ini bukan berasal dari Indonesia, melainkan Ikan ini berasal dari Afrika selatan. Ikan yang didomestikasi ini telah menyebar ke beberapa pelosok dunia untuk dipelihara, diperjual-belikan dan dikonsumsi. Secara ekonomis, tentu saja sangat baik karena memberikan peluang usaha yang besar, namun secara biologis sangat berbahaya bagi ekosistem ataupun spesies lainnya. Ikan yang bukan berasal di Indonesia, apabila diintroduksi ke Indonesia dengan iklim yang sangat mendukung untuk spesies ini akan membahayakan spesies asli Indonesia. Ikan ini bersifat invasive yang bisa menggusur spesies asli dari habitatnya, menggusur di sini berarti bahwa ikan ini akan menguasai sumber makanan dan habitat tertentu, yang populasinya akan terus bertambah karena predator alaminya tidak ada.
Emerging Infectious Diseases (EID) atau Penyakit menular yang muncul, pada diagram di atas dapat dilihat cara penyebaran penyakit menular pada manusia, hewan liar dan hewan domestikasi. Penyebaran penyakit menular dari manusia ke hewan domestikasi dengan teknologi dan industri, sedangkan penyebaran EID dari manusia ke hewan liar melalui kontak secara ex-situ, manipulasi ekologi dan aktivitas manusia di habitat hewan liar tersebut. Peyakit menular ini juga berpindah di antara manusia. Penyakit menular (EID) yang menyebar dari hewan liar ke manusia, salah satu contohnya adalah Lyme diseases, yaitu penyakit menular yang sebagai vektornya adalah kutu. Interaksi manusia dengan hewan liar memberikan peluang penyebaran penyakit ini.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian bisa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan. Sumbangan domestikasi bagi kehidupan manusia berupa pangan, sandang dan papan, misalnya dari aspek peternakan sumbangan domestikasi adalah sebagai berikut:
  • Ayam menyediakan dua keperluan pokok diet manusia sebagai sumber protein: daging ayam dan telur.
  • Domestikasi sapi dan kambing dan penggunaan susunya untuk konsumsi manusia. 
  • Kuda sebagai alat transportasi.
  • Domba sebagai penghasil wol untuk pakaian.
Semua hewan ternak yang dibudidayakan manusia sekarang ini mengalami proses domestikasi beribu tahun yang lalu. Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan di domestikasi dengan beragam cara, dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan perkembangan bioteknologi.

2.6    Peran Pemerintah Mengenai Domestikasi Hewan
Sumber daya alam hayati yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga patut disyukuri dengan memanfaatkannya melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2007:2). Juga Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan hutan hujan tropis terbesar di dunia. Kawasan hutan Indonesia berdasarkan data sampai dengan tahun 1990 mencapai 143.970 juta ha yang tersebar di seluruh pelosok negeri (Koesnadi Harjosoemantri, 1991:4). Dalam praktiknya pemerintah telah mengatur mengenai domestikasi tanaman yang termuat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 36/ Permentan/ OT.140/ 8/ 2006.
Peran pemerintah dalam domestikasi hewan dan keanekaragaman hayati ini salah satunya terdapat dalam undang-undang sudah diatur mengenai larangan baik memperjual-belikan satwa yang dilindungi maupun memelihara atau memiliki satwa langka yang dilindungi tersebut. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dalam Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pasal 21 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Sejalan dengan peraturan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem pada tanggal 22 Januari 2014 lalu. Fatwa ini dapat digunakan sebagai penuntun bagi umat Muslim Indonesia yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa dapat mengambil langkah aktif melindungi spesies-spesies langka dan terancam punah seperti Harimau, Badak, Gajah, dan Orang utan. Fatwa ini adalah yang pertama di dunia dan akan dipadukan dengan program pendidikan untuk membantu masyarakat mengimplementasikannya.
Indonesia juga memiliki program nasional yaitu Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang juga membantu penanganan satwa liar sebagai hasil konsekuensi upaya penegakan hukum di bidang konservasi satwa liar melalui kegiatan penertiban dan kampanye penyelamatan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Kebutuhan dan kesepakatan adanya program ini didasarkan kepada tindak lanjut Lokakarya Penanganan Satwa Liar Peliharaan yang Dilindungi (SPL) di Bogor pada tanggal 20-21 Juli 2000. Lokakarya ini telah menghasilkan 11 rekomendasi penting, dan satu di antaranya adalah kebutuhan akan fasilitas pengelolaan satwa liar dilindungi, dari hasil proses penegakan hukum. Dalam konteks internasional, Indonesia sebagai salah satu anggota CITES menyepakati resolusi untuk menyediakan fasilitas transit satwa.
Tujuan utama PPS adalah mengelola satwa hasil sitaan untuk kemudian dilepaskan kembali ke alam atau habitat aslinya. Dalam menjalankan misinya, terdapat empat target pelaksanaan kegiatan PPS, yaitu :
  • Menurunnya jumlah satwa liar dilindungi yang beredar secara ilegal (diperdagangkan, dipelihara, diselundupkan, dititipkan, dan sebagainya).
  • Terjaminnya kesejahteraan satwa di PPS karena terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan dasarnya (mengacu standar IUCN).
  • Jangka waktu transit satwa di PPS menjadi lebih pendek.
  • Kesiapan lokasi release atau pelepasliaran satwa.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan Pusat Perlindungan Satwa antara lain:
  • Penegakan hukum berupa investigasi perdagangan dan pemeliharaan satwa liar dilindungi dan memberikan dukungan teknis kepada BKSDA dan kepolisian pada Operasi Penertiban dan Evakuasi Satwa.
  • Pengelolaan satwa, meliputi kegiatan evakuasi, karantina, perawatan dan perkembangan kesehatan satwa, serta persiapan pelepasan kembali ke habitat aslinya.
  • Penelitian yang dimaksud adalah untuk membantu optimalisasi pengelolaan satwa di PPS dan satwa pasca di PPS. Dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu:
  • - penelitian/observasi satwa di PPS,
    - kajian literer satwa di habitat alaminya,
    - eksplorasi literer habitat alami sebagai lokasi pelepasliaran,
    - survei lapangan calon lokasi pelepasliaran.
  • Memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat terkait dengan konservasi satwa liar dan penegakan hukum peredaran ilegal SPL pada khususnya, melalui bulletin, leaflet, stiker, dan situs.
  • Pendidikan dan kampanye, yang bertujuan untuk mewujudkan partisipasi aktif masyarakat dalam pelestarian SPL.
  • Peningkatan peran masyarakat lokal dalam konservasi satwa liar dengan membantu kelompok-kelompok masyarakat dalam mengembangkan kegiatan konservasi satwa liar, khususnya di lokasi-lokasi tempat pelepasliaran satwa. Beberapa kegiatan dalam peningkatan peran masyarakat setempat antara lain dalam pengelolaan langsung di PPS sebagai tenaga kerja, maupun tidak langsung sebagai mitra dalam penyediaan kebutuhan teknis PPS, misalnya penyediaan pakan satwa.
Saat ini ada 7 lokasi PPS di seluruh Indonesia, yaitu di Tegal Alur yang terdapat di Jakarta, Gadog yang terdapat di Bogor, Cikananga yang terdapat di Sukabumi, Kulon Progo yang terdapat di Jogja, Petungsewu yang terdapat di Malang, Tabanan yang terdapat di Bali, dan Tasikoki yang terdapat di Bitung.

2.7    Contoh Domestikasi Hewan
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana berlangsung, adalah sebagai berikut:
  • Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup sudah dapat berlangsung dalam sistem budidaya. 
  • Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah.
  • Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya.
Tingkatan kesempurnaan domestikasi hewan, umumnya sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang keseluruhan aspek biologi dan ekologi hewan tersebut. Perilaku satwa liar di habitat alaminya, daur hidup dan dinamika pertumbuhannya merupakan aspek biologi yang antara lain menunjang keberhasilan domestikasi.
Bersama dengan domestikasi tumbuhan penghasil pangan, domestikasi hewan adalah salah satu langkah penting yang dilakukan umat manusia. Di dunia, praktis hanya dua lokasi yang pernah melakukan domestikasi awal hewan ternak yang dilakukan sebelum budidaya tanaman pangan dilakukan, yaitu Asia Barat Daya (untuk domba, kambing, sapi, dan babi) dan Dataran Tinggi Andes (untuk alpaka dan llama).
Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan bahan pakaian), serta di kemudian hari sebagai komoditi perdagangan. Menurut ahli biologi Jared Diamond (2004), hewan harus memenuhi enam kriteria agar dapat dipertimbangkan untuk didomestikasi:
  • Pakannya mudah didapatkan. Hewan tersebut harus mau memakan makanan yang berada di luar piramida makanan manusia (gandum atau jagung), pakannya tidak digunakan oleh manusia (rumput, dan sebagainya), dan ekonomis untuk penyimpanannya.
  • Pertumbuhannya dengan cepat sehingga mempercepat proses perkembangbiakan dan dimanfaatkan. Hewan besar seperti gajah membutuhkan waktu tahunan hingga dapat dipergunakan.
  • Memungkinkan untuk dikembangbiakkan dalam penangkaran.
  • Tidak agresif.
  • Tidak mudah stres.
  • Memiliki hierarki sosial yang dapat dimodifikasi.
Karena syarat-syarat itulah, kebanyakan domestikasi dilakukan pertama-tama untuk keperluan kesenangan semata sebagai hewan timangan (pet). Banyak jenis ikan dan reptilia masa kini mulai ditangkarkan untuk keperluan sebagai peliharaan, namun perilaku liarnya masih terbawa hingga sekarang. Domestikasi memerlukan puluhan generasi untuk mendapatkan galur-galur yang benar-benar adaptif dengan lingkungan buatan manusia, dikarenakan domestikasi konvensional memerlukan waktu yang panjang.
Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming:
  • Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen. 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungu lata (rusa, banteng).
  • Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti tanduk, kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu:
  • Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak, kondisi spesies (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan serta pemanfaatannya.
  • Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia.
  • Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses penangkaran.
  • Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk.
Penangkaran dalam rangka budidaya dilakukan dengan sasaran utama komersial terutama dari segi peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti: inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan.

Referensi:

Akhmaddhian, Suwari. 2013. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Hutan Konservasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi di Kabupaten Kuningan. Tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/38568-ID-peran-pemerintah-daerah-dalam-mewujudkan-hutan-konservasi-berdasarkan-undang-und.pdf. (Diakses pada: 5 Oktober 2017).

Anggoro, Sutrisno, Siti Rudiyanti, dan Isna Yunita. 2013. Domestikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) melalui Optimalisasi Media dan Pakan. Journal Of Management Of Aquatic Resources. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 119-127. Diambil dari: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares. (5 Oktober 2017).

_______. 2013. Domestikasi Lobster Air Tawar (Cherax Quadricarinatus) melalui Optimalisasi Media dan Pakan. Journal Of Management Of Aquatic Resources. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 128-137. Diambil dari: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares. (5 Oktober 2017).

Augusta, Tania Serezova. 2016. Upaya Domestikasi Ikan Tambakan (Helostoma Emminckii) yang Tertangkap dari Sungai Sebangau. Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 5. No. 2. Desember  2016. Diambil dari: http://unkripjournal.com/index.php/JIHT/article/download/94/93. (5 Oktober 2017).

Bamualim, Abdullah. 2009. Status Terkini Dunia Sumber Daya Genetik Ternak untuk Pangan dan Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Bolen E.G, Robinson. 1995. Wildlife Ecology and Management. Prentice Hall. New Jersey.

Budiman, Arief. Pelaksanaan Perlindungan Satwa Langka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Studi di Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Tengah). Tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/62085-ID-pelaksanaan-perlindungan-satwa-langka-be.pdf. (Diakses pada: 5 Oktober 2017).

Demchick, M. dan E. Streed. 2002.  Non-timber Forest Products and Implication for Forest Managers: Use, Collection, and Growth of Berriers, Fruits, and Nuts.  University of Minnesota Extention Service, 405 Coffey Hall.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan. Jakarta: Departemen kehutanan.

Diamond, Jared, Evolution. 2003. Consequences and Future of Plant and Animal Domestication, Nature Vol 418. Tersedia di: http://sang-rusa.blogspot.co.id/2011/11/domestikasi-ternak.html. (Diakses pada: 3 Oktober 2017).

Ekastuti, Damiana Rita. 2012. Tinjauan Fisiologis Domestikasi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) [A Physiological Review on Domestication of Wild Silkworm A. atlas (Lepidoptera: Saturniidae)]. Diambil dari: http://e-journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/483. (5 Oktober 2017).

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1995. Hukum Perlindungan Lingkungan: Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kayadoe, Martha, P. Sambodo, dan Y. Aronggear. 2008. Perbandingan Gambaran Darah Burung Maleo Gunung (Aepodius Arfakianus) Betina dan Unggas yang Telah Didomestikasi (Comparison Of Blood Variables Between Endemic Maleo And Domesticated Maleo). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua. Diambil dari: peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro08-125.pdf. (5 Oktober 2017).

Majelis Ulama Indonesia. 1975. Fatwa MUI No. 11 2012 PP No. 9 Tahun 1975. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.

Republik Indonesia. 1990. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Sekretariat Negara.

_______. 1994. Undang-undang Nomor 5 tentang Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Sekretariat Negara.

_______. 2016. Undang-undang Nomor 16 tentang Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara.

Ronnie Liljegren. Die Domestizierung von Tieren. Dalam: Göran Burenhult (2004). Menschen der Urzeit. Karl Müller.

Saputri, Ria Esiskha, Desrina, dan A. H. Condro Haditomo. 2016. Keanekaragaman Parasit Pada Kerang Hijau (Perna Viridis) di Perairan PPP Morodemak Kabupaten Demak. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Ke-VI Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Pesisir. Semarang: Universitas Diponegoro.  

Sulistyoningsih, Mei. 2011.  Teknik Tonic Immobility sebagai Indikator Stres pada Ayam di Pemeliharaan Intensif dengan Pencahayaan Berselang. Diambil dari:  download.portalgaruda.org/article.php?article=7180&val=540. (5 Oktober 2017).

Sutriyono, Johan Setianto, dan Hardi Prakoso. 2016. Produksi dan Populasi Ayam Hutan Merah Domestikasi di Kabupaten Bengkulu Utara dan Skenario Pengembangan Populasi. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia Volume 2, Nomor 2, Desember 2016. Diambil dari: biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/M0202/M020218.pdf. (5 Oktober 2017).

Suwed, Muhammad A. Dan Rodame M. Napitupulu. 2011. Panduan Lengkap Kucing. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tim Penulis Agriflo. 2012. Itik: Potensi Bisnis dan kisah Sukses Praktisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yayasan Gibbon Indonesia. 2006. Pusat Penyelamatan Satwa. Tersedia di: http://www.gibbon-indonesia.org/activity/penyelamatan-satwa.html. (Diakses pada: 5 Oktober 2017).

Zairin, M. Jr., 2003. Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endikronologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


Untuk Anda yang menginginkan file ppt dari artikel ini, agar bisa ditampilkan untuk presentasi bisa Anda download disini.

1 comment:

  1. Jenis permainan Sabung Ayam terdapat 3 jenis:
    ♣ Sabung Ayam S128
    ♣ Sabung Ayam SV388
    ♣ Kungfu Chicken

    Untuk setiap permainan berbeda beda minimal bettingan nya..

    Untuk minimal Deposit dan Withdraw adalah Rp 50.000 saja , yang cukup terjangkau.

    Dengan Rp 50.000 saja sudah bisa menang kan sampai ratusan juta Rupiah, cukup menguntungkan bukan?

    Tunggu apalagi? Segera daftar dirimu juga di www.bolavita.vip

    Baca juga = Cara Daftar Sabung Ayam di BOLAVITA

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    ReplyDelete